Kamis, 19 Mei 2011

Do'a Untuk Cintaku

Hembus angin merasuk tubuh ku yang sudah terselimuti jaket berbulu lebat. Langit terus menghilangkan cahaya cerahnya, tetesan air langit mulai membasahi jalanan yang sebenarnya sudah basah sejak semalam.
Dua bola mataku masih terpaku memandangi kepulan asap yang melompat dari secangkir teh jahe favoritku. Hangat ku raba tubuh mug penuh harap cemas menantikan seorang yang sejak enam puluh menit lalu aku disini. Jam enambelas, lima Sembilan, semalam dia berjanji untuk datang memenuhi ajakkanku berteh sore di tempat yang indah ini.




“Ha, ha, halo…” Aku tergugup sangat saat menelponnya. Jantung ini sungguh mau berhenti berdetak karena terlalu cepat getarannnya.

“Iya? Ini siapa ya?” Sahut lelaki itu tak mengenali nomorku dan suaraku. Rupa –rupanya iya terkejut mendengar suara yang bergetar seperti hendak menangis ini.

“Abang Zhafrans?”

“Iya, ini aku, kamu siapa ya?”

“Ini aku bang, Manda Selia…” Aku berusaha menegaskan suaraku yang sedikit lagi tidak akan terdengar.

“Manda? Kamu kenapa? Kenapa suara kamu seperti…”

“Ada yang ingin aku bicarakan dengan abang,”

“Soal apa?”

“Temui aku besok jam empat di café bukit…” Nafasku mulai terengah –engah sperti sudah marathon.

Tit…

Langsung berakhirlah telpon itu tanpa persetujuan darinya.

Atau jangan –jangan dia memang tidak mau aku ajak bertemu ya? Ya Tuhan, jangan buat aku menunggu lebih lama lagi, aku sudah terlalu lelah menanti sejak tadi.

Tujuh belas dua Sembilan, tidak ada tanda –tanda kemunculan dari lelaki buruk itu. Dia belum berubah, tidak bisa menghargai waktu! Sudah aku tandaskan tiga mug teh jahe hangat, tapi sudah tidak mempan lagi menghangatkan tubuhku yang berlama –lama ditiup air gerimis.

“Manda tunggu…”

Aku berhenti melangkahkan kakiku yang hendak pergi dari meja. Aku berbalik memastikan siapa yang telah datang mengucap namaku. “Bang Zhafran…” Aku menyenyuminya.

“Maaf, maaf sekali aku terlambat.”

“Tidak masalah…” Aku masih berdiri dekat meja.

“Ada masalah apa yang mau kamu bilang?”

Mata sudah mulai berkaca –kaca, aku tatapi mukanya yang tanpa perasaan bersalah sedikitpun. “Maaf, aku hanya mebuang waktumu saja. Tidak ada yang penting ingin aku tanyakan sebenarnya.”

“Kamu ini gimana sih? Semalam kamu telpon aku tanpa babibu kamu langsung ajak aku ketemuan disini.”

Aku terdiam. Dari mana aku harus memulai pembicaraanku?

“Manda? Sepertinya kamu sedang punya masalah ya?” Dia memegang pundaku dan mendudukkan aku kembali ke kursi. Ia pun turut duduk di hadapanku.

“Sebenarnya…”

Mukanya menyimak.

Ya Tuhan, apa aku harus katakan sekarang?

“Manda?”

“Tidak!”

“Apanya tidak?!” Mukanya terkejut seketika.

“Maaf, aku harus pergi sekarang..” Aku tergesa –gesa melarikan diri dari hadapannya. Aku tak mampu untuk katakan semua sekarang padanya.

Aku melarikan diri, lenyap meninggalkan dia dengan bill minumanku sendiri.

*****

Tik tok tik tok…

Jam dinding telah menunjukkan pukul delapan tepat. Aku masih termenung sendiri di meja makan dengan sepotong roti bersleikan coklat sejak sejam yang lalu. Aku seperti patung saja, semakin hari bukannya semakin tersenyum ceria justru aku tak bisa berpikir jernih lagi sekarang.

Bawalah pergi cintaku, ajak kemana kau mau…

Sepenggalan lagu terdengar memecah lamunanku yang tak bertema. Segera aku raba iphone ku dekat piring. Lemas aku melihat, ‘Zhafrans’

Astaga Tuhan!

Aku mendelik melihat sepenggalan nama panggilan muncul di layar hapeku. Tarik nafas, buang! Memberanikan diri aku angkat telponnya.

“Ha, halo…”

“Hai Manda, semalam aku kepikiran soal kemarin sore, hari ini aku tunggu di perpus kampus aja ya. Biar kamu bisa enakan ngomongnya…”

Aku terdiam seribu kegagapan.

“Manda? Kamu masih disitu kan?”

“Iya…”

“Ya udah, see u di perpus ya…”

Tit…

Habislah riwayatku sekarang, kenapa jadi Zhafran yang minta aku temui dia?

Bawalah pergi cintaku, ajak kemana kau mau…

Sepenggalan music Afgan kembali mengganggu kecemasanku. Aku lihat kembali layar hp yang masih dalam genggamanku. ‘Cungkring kering’

Argh! Kenapa satu orang ini selalu membuatku kesal dengan segala keberadaannya. Namanya Rizi, dia juga satu kampus denganku. Sebenarnya sih kakak angkatanku. Dia selalu bergombal ria dengan segala puisi rayuan mautnya yang entah pada siapa saja dia lontarkan selain aku.

Aku abaikan!

*****

Gemuruh Guntur, langit menggelap, aku berlari mencari naungan segera sebelum bulir –bulir air membasahi seluruh tubuhku. Hari ini aku melupakan payungku yang selalu aku letakkan di bagasi sedan merahku.

Aku hampiri kawanku Cintia yang berjalan menuju kelas dengan payung merah jambunya. “Nebeng dong…!”

“Ah lo…” Katanya berbagi payung denganku. Aku dan dia berjalan bersama –sama. “Eh, Zhafran nyariin lo tadi.”

Aku telan ludahku keras. “Serius lo?”

“Iya, tadi dia nyariin lo. Tanya sama gue pas gue lagi di kantin bareng Dodi.”

“Tanya gimana?”

“Ngurus amat? Dia tadi Cuma tanya lo ada dimana gitu. Emang da apa sih koq tuh cowok nyariin lo?”

“Manaku tahu. Gue juga heran tumben dia nyariin gue…”

“Terserah deh, yang penting hati –hati aja lo…”

Hati –hati? Memangnya Zhafran kenapa? Sejauh ini dia tidak pernah menunjukkan kesalahan fatal buatku. Ya walau memang seorang Zhafran tidak punya masa lalu yang baik untuk diingat, ya sekarangpun begitu sih.  Gelar tukang minum, anak bandel, playboy, everything lah yang biasanya dilakuin sama anak Broken Home. Tapi kenapa aku tidak bisa kecewa dengan semua keburukannya? Rupa tampan menawan? Tidak dia tak punya itu, semua serba minim dari seorang Zhafran. Aku ibaratkan dia hanya bernilai tiga dari sepuluh.

Sesuai janjiku, ah salah sesuai permintaannya, aku temui dia di perpusatakaan kampus. Aku beridiri diam tepat dibelakang punggunya yang duduk dengan sebuah buku.

Ya Tuhan! Apa yang terjadi padaku ini? Jantungku semakin berdebar kencang, seluruh tubuhku terasa basah. Apa yang harus aku sapakan padanya? Gemetar tanganku sungguh kencang sekali saking kencangnya aku harus mencetokkan tangangku ke kursi tempat duduknya.

Zhafran yang kaget berbalik seketika menghadapku. “Sejak kapan kamu disitu?”

“A,a… baru…”

“Ya udah duduk sini…” Dia menyeret kursi disampingnya untuk tempat dudukku.

Dan aku pun duduk disampingnya. Ya Tuhan, sungguh aku makin gila dibuatnya. Sekarang saja rasanya aku lebih baik pingsan dari pada harus menahan getar jantungku yang semakin bergemuruh memecah konsentrasiku. Menguatkan diri aku tersenyum padanya.

“Lho? Kamu itu kenapa sih, dari kemarin aja kamu diem tok…”

Aku menarik kembali senyumku. “Dak papa bang…”

“Trus kamu mau ngomong apa? Kamu itu seperti dirundung seribu satu masalah…”

“Lu kate DONGENG CUY?!” Sahut suara lelaki dengan lantang dan keras muncul ditengah tengah kami yang sudah serius.

Aku dan dia menolehi ledakan suara itu. Argh! Rizi, dia datang tak dijemput, pulang pun tak diantar. Sungguh tak pernah aku harapkan kedatangannya.

“Eh, say napa sih tadi aku telpon kamu gak angkat?” Katanya sok mesra padaku.

Hih! “Suka suka aku mau angkat ato enggak…” Aku beranjak dari kursiku. Meninggalkan mereka berdua.

Eh si Rizi malah ngejar aku. “Manda, Manda tunggu dulu say…” Tangannya menarik –narik tanganku.

“Eh sintiing, udah berapa kalu aku bilang, jangan panggil aku Sayang!”

“Ayolah Manda, kamu itu selalu sensi terus sama aku. Aku kan pengen kamu itu baikin aku juga seperti kamu baikin Zhafran…”

“Oggah!” Tandasku.

Jangan pernah berharap lebih padaku. Sudah bertahun tahun aku mendam perasaan yang aneh ini terhadap Zhafran. Dia adalah cimonku sejak SMP dulu, sungguh aku tak sangka ternyata dia masih aku sukai hingga detik ini.

*****

“Akhir –akhir ini gue ngerasa ada yang beda sama lo Man…” Cintia yang meneguk jus oranye mengernyitkan alisnya menatapku penuh keheranan.

“Emangnya gue napa? Biasa aja lah…” Aku tersenyum. Ya mungkin dia memang merasakan sikap ku semakin berbeda saja. Saat ini pikiranku sering dihantui Zhafran, dan itu bikin gerak tubuhku jadi salah tingkah.

Belum lama terlalu aku berbicang dengan jus –jus bersama Cintia, kehadiran Zhafran membuat mataku langsung mendelik dan jantungku kembali berdebar. Aduh, gimana ini?!! Dia datang, mendekati meja kami..

“Hey, napa tadi langsung kabur?” Sapa Zhafran yang langsung bertanya.

“A, a-aaa…” Haduh kenapa aku jadi ngerasa sesak nafas gini ya?

“Manda?” Tatapan Cintia penuh curiga padaku. Dan itu turut membuat aku sangat menjadi takut sekali.

“Tadi, aku ada, itu, anu…”

“Kamu kalau ngomong yang bener dong Manda…” Zhafran malah semakin duduk dekatku.

Astaga, Ya Tuhan! Haduh! Tolong aku, aku gak bisa ngomong sekarang!

Aku lekas beranjak tanpa pamit pada mereka berdua. Aku sungguh tak perduli mereka terheran –heran, bingung or terserahlah…

Dag dig dug dwerr… aku sungguh tak bisa menahan rasa gugup yang sangat tak wajar seperti ini. Kalau begini gimana aku mau bilang sama dia ya? Ketemu aja dah gak berani. Sekarang mau lewat jalur mana? Sms? Paling juga cuma lewat hpenya yang berani, kalau natap langsung ntar sama aja gak bisa nahan. Haduh God! Help me..!!

Aku tarik nafas, kemudian hembuskan perlahan. Menikmati pemandangan air mancur di tengah –tengah taman yang bertumbuhkan bunga merah cerah, secerah hatiku saat menatapi gerak tubuh Zhafran dari kejauhan. Kenapa aku sangat mengagumi sesosok lelaki yang sangat jauh dari sempurna seperti kamu? Apa ini yang dikatakan cinta buta? Cinta tak mengenal kasta? Kasta? Memang kastanya apa? Kita sama aja koq, bedanya hanya masalalu yang kurang pantaslah kalau kita ungkit –ungkit lagi.

DoR!

Ah sialan, Rizi datang mengejutkan aku yang sedang tersenyum lebar dengan sejuta lamunan indah.

Mukaku tentu langsung berbalik. “Apaan sih kau tuh?!”

“Heh, kamu liatin sapa? Koq senyumnya gitu?”

“Bukan urusanmu! Udah sana ah…” Usirku mengibaskan kedua tanganku.

“Kamu itu kenapa sih sensi aja terus sama aku sayang…”

“Gimana aku gak sensi sama kau, tiap manggil aku gak suka kau panggil aku sayang! Aku ini bukan cewekmu tau.”

“Kenapa, kan aku ngarep kamu jadi cewekku Man…”

“Oggah!” Tandasku kembali meninggalkan lelaki yang tak sedikitpun aku tersentuh.

“Manda! Jangan gitu dong sayang…” Rizi masih terus mengejar aku.

Percuma saja aku tinggalkan dia, dia masih terus ngekorin aku. “Apa sih maumu ha?!”

Rizi tersenyum. “Kamu tau mau aku apa koq…”

“Riz, Please, aku dak punya banyak waktu nebakin maumu okay! Sorry I have to go now…”

Lalu, setiap kali ada pertemuan dengan Rizi, kemudian pasti ada pertemuan dengan Zhafran.

Aduh!

Tak sengaja aku yang terburu –buru dengan kekesalan pada Rizi barusan, bikin aku harus menabrak seseorang yang berdiri dekat pintu kelasku.

“Sorry…” Aku menunduk salah.

“Gak papa…” Suara itu lembut seperti suara Zhafran.

Aku mendanga menghadapnya. Dan lagi! Aku terpaku menatap kedua matanya yang kali ini benar –benar dalam jarak yang sangat dekat. Tangannya, menggandeng tanganku yang nyaris terjatuh. Oh God! Lebih baik aku pingsan saja sekarang dari pada memandangi wajah yang sangat membuatku kaku kedinginan seperti ini.

“Manda, hati –hati dong…”

“Maaf, maaf, maaf, maaf bang…” Aku membenahkan diriku.

“Kebanyakan maaf kamu ini…” Senyumnya bikin aku…

Astaga! “Aku harus pergi bang…” Pamitku segera.

Entah apa yang ada dipikiranku hingga terlalu seperti ini.

*****

“Man, serius deh, lo tuh napa selalu gagap gugup sih pas ada Zhafran?” Pertanyaan Cintia yang sangat menjurus itu membuat aku tersedak dengan segelas jus alpukaat yang ku pesan di kantin ‘Sini’.

“Biasa aja lah…” Aku mengusap mulutku.

“Bo’ong lo. Gue bisa lihat benner sama sikap lo yang selalu aneh gak jelas.”

“Lo pikir gue napa?”

“Lo gak jatuh cinta kan sama Tuh cowok?” Pertanyaan apa itu? Itu terdengar sedikit menyinyir di telingaku.

“Kalau iya kenapa? Bahkan gue niat bilang sama dia.”

“Hah?! WHAT?! Serius lo?!” Mungkin Chintia tersambar petir di siang bolong sekarang.

Aku tersenyum lebar. “Cin, kalau gue bilang sama Zhafran gimana ya?” Aku menunduk memainkan kuku –kukuku.

“Lo gila Man, buat apa sih lo nyatain cinta sama cowok kaya dia? Yang ada lo malu sendiri.”

“Kenapa harus malu? Gue kan cuma bilang kalau gue suka sama dia.”

“Heh Manda, lu tuh gimana sih? Cowok kaya gitu kebagusan dapet pernyataan cinta dari lo tau! Heh, lo masih inget kan kemarin dia kasus apa aja?”

Aku masih ingat sangat ingat sekali malah, siapa dia sebenarnya. Tapi mau gimana lagi? Pilihanku telah jatuh pada satu orang, dan itu Zhafran.

“Cin, Gue tau dia siapa. Dan gue sadar sesadar –sadarnya, gue suka dan sayang banget sama dia. Salah kah?” Jawabku menahan marah.

“SALAH!” Tegas Cintia menitikkan tangan di atas meja. “Lo salah jatuh cinta sama cowok bangsat kaya dia. Yang ada lo sama aja dijadiin mainan kaya mantan –mantannya dia yang lain.”

“Gue gak perduli, mungkin lo memang benner, tapi diluar itu semua, gue cuma pengen dia tahu kalau gue cinta sama dia. Dan gue gak perduli kalau harus nangis di akhir cerita nanti… Gue Udah terlanjur cinta sama Zhafran!” Tandasku. Aku langsung beranjak dari kursi tanpa menghiraukan kekesalan Chintia lagi. Aku berbalik, dan aku tercekat. “Zhafran…” Panggilku pelan berbisik. Tampak Zhafran sudah ada dihadapanku tanpa sedikitpun ekspresi rupa. Dia hanya diam dan menatapku. Tak sampai semenit, Zhafran sudah langsung beranjak dari hadapanku. Entah apa dia telah dengar semua omongan aku dan Chintia barusan.

Dia telah tahu tanpa aku kasih tau. Dan bagaimana sikapnya nanti padaku? Aku gak mau kehilangan dia karena ucapan tadi. Gak, gak, gak! Jangan sampai Zhafran berubah sikapnya sama aku. Aku harus segera kasih dia penjelasan soal omongan tadi.

Tit, tat, tit, tut…

Secepat kilat aku menyambar nomor di hapeku. Ku lekas telpon Zharfan.

“Halo?” Katanya dari kejauhan.

“Ha, Halo, bang ini aku…” Katanku tentu masih gugub.

“Iya Manda, ada apa?” Suaranya terdengar tanpa masalah.

“Boleh aku minta ketemu abang sekarang?”

“Ok, dimana?”

“Nanti aku sms aja alamatnya. Sebelumnya makasih ya bang atas waktunya…”

“Sama –sama…”

Tut…

Telpon itu langsunglah berakhir.

*****

Kini berdirilah tepat seorang lelaki yang sangat aku cintai dihadapanku. Sungguh aku kembali gugup untuk ungkapkan semua rasa gundah gelisahku. Tapi bagaimanapun aku harus katakan segera, kalau tidak nanti aku bisa mati jantungan duluan.

“Ada apa? Kamu koq kelihatan kikuk gitu?” Katanya berusaha tersenyum padaku.

Satu dua, dan tiga. Aku tarik nafasku kuat. “Aku suka sama Abang…” Ungkapku singkat.

Zhafran diam terpaku tanpa ekspresi apapun. Aku tahu dia pasti terkejut mendengar pernyataanku, tapi mau gimana lagi.

“Iya, aku suka sama abang…” Tegasku yang mulai pasrah.

“Koq bisa?”

“Apanya?”

“Kenapa kamu bisa suka sama aku?”

“Aku gak tau…”

“Kamu tahu aku seperti apa, kenapa kamu bisa suka sama aku?”

“Kalaupun aku tahu kenapa aku suka sama Abang, aku pasti menghindari hal itu sejak awal. Aku juga gak mau begini…” Entah kenapa aku malah ingin menangis saja dihadapan dia. Ah! Malah airnya menetes langsung.

“Kamu kenapa nangis?”

“Aku gak tau bang..” Aku biarkan air terus mengucur dari ujung mataku.

Kami berdua saling membisu. Entah apa yang ada dipikirnya. Entah kenapa juga aku sungguh merasa sangat lega telah ungkapkan ini. Aku sudah tak perduli apapun yang terjadi setelah ini, aku hanya inginkan dia tahu perasaanku. Dan aku gak mau harus mengemban kegilaan sendirian. Dari pada aku tersiksa sendiri, mending aku berbagi dengannya.

Malam semakin larut, rintik air mulai membasahi bumi. Tak sadar aku dan dia telah berhadapan saling berpandangan sudah tiga puluh menit lebih. Aku tak merasa lelah sedikitpun dengan kedua betisku.

“Sana pulang, sudah malam gak baik kamu keluar sampai jam segini...”

Aku hanya menganggukinya kemudian berbalik dan berjalan meninggalkan dia yang entah bagaimana dibelakangku lagi.

“Tunggu..” Ia menghentikan aku.

Aku berbalik. “Ada apa?”

“Hati –hati...” Ia tersenyum padaku.

Dan aku kembali berbalik dan pulang.

Ya Tuhan! Kenapa aku ingin tersenyum malam ini? Aku sudah sangat lega telah ungkapkan perasaanku yang sudah nyaris menggila sejak sebulan yang lalu. Terserah dia mau anggap aku apa, terserah dia mau pikir aku apa, terserah dia mau apakan aku lah, yang penting aku senang dan aku sangat sayangi dia…

Dialah cintaku yang pertama…

*****

Tik tok tik tok!!!

Mata ku lebarkan kuat. Hari ini adalah hari yang cerah walau semalam telah turun hujan. Semoga hari ini awal dari semua kesenangan ku…

Semangat!

Hai! Sana, Hai! Sini…

Aku sapa semua orang di kampus dengan penuh senyuman. Hari ini harus jadi hari terbaikku dibanding hari kemarin sayang…

“Hai Rizi…” Aku tersenyum menyapa Rizi yang kebetulan duduk sendiri menatap buku biru di meja kantin. Aku duduk di sebelahnya.

“Manda?!” Sapa Rizi yang melirikku penuh keanehan.

“Hem…” Sahutku juga tersenyum padanya.

“Kamu kenapa? Tumben kaya bollywood gitu? Senyum sana senyum sini?”

“Penyakitku lagi kumat Rizi. Aku senneng banget hari ini…”

“Penyakitmu apa?”

“Senyum senyum sendiri…”

“Koq bisa?”

“Gak tau deh, bawaannya pengen senyum aja…”

“Gila dong kalau gak tau alasannya. Hahaa…!!” Rizzi tertawa keras  dan aku tersenyum lebar dengan itu. Namun tawanya langsung berhenti saat Zhafran muncul menghampiri kami berdua.

“Bang Zhafran..” Sapaku tersenyum.

Zhafran kembali menyenyumiku. “Napa lo bro? Ngakak gak kurang lebar sekalian..” Ia menepuk punggung Rizi.

Tanpa menjawab, Rizi mengapai sebotol coca cola di atas meja dan langsung meneguk hingga tandas tanpa bernafas. Aku dan Zhafran hanya melongo terheran dengan kerjaannya yang gak jelas tujuannya.

“Zi?! Gile lo!”

“Riz? Apa –apaan sih kau itu?” Aku coba tarik botol itu.

“Arhh..koq ditarik sih? Biarin aku minum sayang…” Aksi tarik menarik terus berlangsung.

Secepat kilat Zhafran cerdas langsung merampas botol itu. “Pengen mati lo! Gak sekalian gantung diri aja di jemuran sana…”

“Heh, gue ini udah punya niat sendiri tau..”

“Niat apa? Niat tuh yang bagus –bagus bukan yang nyiksa diri tau.”

“Udah dapet cewek lo?”

“Gue punya nadzar. Kalau Manda nyapa gue, terus dia bisa senyum pas disamping gue.. gue bakalan habisin lima liter coca cola yang fress dengan soda yang masih ngepul..” Lagaknya penuh keyakinan.

“Astaga Dragon!” Zhafran menarik mukanya. “Sumpeh lo dah..”

Oh ya? Kenapa sampai segitunya Rizi punya niat? Apa karena aku gak pernah senyum sama sekali pas disampingnya?

“Gue senneng pagi ini lihat Manda nyapa gue, dia senyum manis sekali...” Puja Rizi sambil menatapi aku.

Kalau begini gimana aku dipikir Zhafran? Lebih baik aku menghidari mereka saja. “Ada kelas pagi, aku duluan semuanya…” Aku kembali cantolkan tas ke bahuku dan pergi secepatnya.

Ada ada saja Rizi berlaku seperti itu. Sungguh mengesalkan sekali anak itu, tak kapan dimana aja dia selalu konyol dihadapanku. Tebal muka dia, atau sengaja cari perhatianku ya? Entahlah, pastinya aku tidak suka dibegitukan.

*****

Tempat sunyi dengan jutaan ilmu yang berjejer rapih di rak masing –masing, semakin mendukung aku yang terus termenung memikirkan kegilaan Rizi yang paling gila tadi pagi. Tumpukan buku –buku tak bisa aku baca tulisannya satu demi satu, yang terbayang hanyalah wajah Zhafran seorang. Kenapa Rizi harus bilang gitu di depan Zhafran? Kenapa tidak Zhafran yang menjadi Rizi? Hingga aku tak perlu susah –susah mengungkapkan perasaanku seperti ini. Susah –susah mengejar dia...

“Bukunya terbalik…” Muncullah sesosok Zhafran yang sama sekali tidak pernah aku duga.

OMG! Astaga! Bukuku terbalik, segitunya kah aku memikirkan Zhafran hingga harus terbalik? Aku langsung membalikkan buku itu tentunya. “Ah iya…” Aku tersenyum MALU!

“Kamu mikir apa sampai kebalik gitu?”

“Mikir? Ah enggak koq…”

“Koq sampek baca kebalik?”

“Emang sengaja aku balik, belajar baca kebalik..” Elakku yang jelas –jelas konyol.

Zhafran tersenyum. “Rizi kayanya cinta mati sama kamu ya?”

“Itu pertanyaan atau apa?”

“Bukan keduanya. Ya aku gak nyangka aja dia sampai punya nadzar gitu…”

Aku mengibas tanganku. “Jangan ingat –ingat yang tadi. Ada yang eror di otaknya, dia konyol…”

“Aku kira gak, dia normal lakukan itu demi kamu…”

“Normal apanya?”

“Dia suka cerita sama aku, kalau kamu itu memang selalu kesal sama dia. Sampai –sampai dia itu bingung mau bikin kamu senyum gimana.” Rupa –rupa Zhafran tertawa kecil.

“Cuma satu orang saja yang bisa bikin aku sebahagia hari ini.”

“Siapa? Chie chie...” Lagaknya menggodaku.

“Kau bang…” Aku tersenyum.

Seketika mukanya langsung berubah.

“Sudah aku gak mau sok nutupi, sok ini itu. Jujur aja, aku senneng banget bisa ada dihadapanmu sekarang. Mungkin orang bilang aku ini bodoh atau apa lah karena aku dah jatuh cinta sama orang yang jauh dari sempurna sepertimu. Tapi apalah dayaku? Aku hanya bisa merasa senang bang…”

Rupa itu tertunduk malu dan hanya tersenyum tanpa bicara.

“Maaf, aku udah bikin abang gak merasa nyaman dengan pernyataanku. Aku hanya akan katakan apa yang aku rasakan..”

“Gak papa… Makasih…”

“Cinta itu tak berbalas budi bang…”

Aku langsung membereskan buku –buku yang berserakan dihadapanku dan pergi meninggalkan dia.

 *****

Aku duduk mengahadap kebarat, di luar jendela sana hujan sudah turun sangat lebat. Langit itu semakin menghilang lenyap cahayanya. Tetes air membasahi tanah, dan membasahi pipi ku. Baru kali ini aku merasakan yang namanya senang jika melihat seseorang, senang melihat orang lain senang, senang menatapi rupa yang tak rupawan, senang saat bersama seseorang.

Bawalah pergi cintaku, ajak kemana kau mau…

Bunyi hape itu lagi –lagi mengejutkan tangisanku. Aku tolehi I phone yang tiduran di dekat bantal kasurku. Aku gapai dan aku lihat ‘Zhafran’ langsung saja aku tersenyum.

“Halo?” Aku jawab telponya.

“Halo Manda..”

“Iya bang, tumben telpon? Ada apa?”

“Kamu lagi ngapain?”

“Aku nyantai aja, kenapa emangnya?” Sungguh aku sangat mengherankan satu panggilan yang ini. Saat aku menginginkan dia, saat dia langsung muncul dengan sebuah pertanyaan yang membuatku melayang –layang tinggi.

“Gak papa, jangan keluar ya. Diluar hujan nanti kamu sakit…”

Aku hanya bisa tersenyum. Mimpi apa aku semalam mendapati Zhafran di telfon mewantiku seperti ini?

“Manda?”

“Iya bang?”

“Ya udah, aku masih ada urusan. Lanjut besok dikampus aja ya…”

“Iya bang, makasih…”

“Iya sama –sama…”

Pentingkah telpon itu hanya untuk mewantiku agar tidak berhujan –hujanan di luar sana? Walau itu hanya berdurasi kurang dari dua menit tapi itu mempan membuatku tak tidur semalaman terus memikirkan sesosok Zhafran yang sungguh membuatku gila.

Sebegitu cintanya diriku pada Zhafran? Ya, aku sangat sayangi dia melebihi saudaraku sendiri…

*****

Tak terasa sudah seminggu aku menjalani kedekatan dengannya. Seorang Zhafran yang selalu buat aku melayang –layang tinggi di udara.

“Gue gak nyangka lo bakalan se nekat itu nyatain cinta sama si brengsek.” Kapankah Chintia akan mengakhiri penghinaannya?

Aku masih diam mengaduk es jerukku.

“Trus dia bilang gimana sama lo?” Lanjutnya tanya.

“Diem aja, gue kira dia gak akan nyamain gue sama mantan –mantannya.”

“Jangan kemakan cinta lo Man. Mungkin gue ngerahasiain kartunya dia sama semua orang. Tapi lo tau sendiri dia itu emang brengsek.”

“Cukup Cin! Gue gak mau denger lo jelek –jelekin Zhafran di depan gue lagi. Mungkin gue emang udah kemakan cinta. Tapi gue yakin Zhafran itu menghargai gue!”

“Tau ah gelap. Tererah lo deh, yang penting gue da ingetin lo koq…”

“Makasih…”

Aku tetap diam di posisiku. Sementara Cintia mungkin merasa kesal padaku hingga ia meninggalkan aku sendiri disini. Aku tak perduli itu!

Sudah Cintia bergantilah langsung penderitaanku pada Rizi!

Ia menarik kursi dekatku dan duduk tenang. “Kenapa koq gak senyum lagi hari ini?”

“Males..”

“Koq males? Pasti ada yang salah…”

“Tau ah, ada –ada aja yang bikin aku mangkel rasanya..”

“Hmm… gimana biar kamu bisa senyum lagi?”

“Kamu cukup diem aja. Don’t talk to me okay??!”

“Manda, Manda… kenapa sih kamu itu gak pernah berubah soal yang satu ini? Kamu itu gak pernah anggap aku ada sama sekali. Kamu tahu aku suka sama kamu, tapi  kamu itu selalu aja kasar sama aku. Tolong Man, jangan kasari aku seperti ini…”

Lha lho?! Koq Rizi jadi serius gitu ngomongnya? “Sorry kalau aku selalu kasar sama kau. Tapi aku memang gak bisa, aku gak mau kau suka sama aku. Aku takut malah kau itu justru tambah sakit hati.”

“Kenapa Man? Kamu tolong kasih aku kesempatan buat buktiin aku buat jadi pendampingmu yang baik.”

“Kau itu memang orang yang baik Riz. Tapi sekali lagi maaf, aku gak bisa…”

“Kenapa?”

“Aku udah jatuh cinta sama orang lain. Dan aku sangat sayang sama dia.”

“Kamu dah jadian sama dia?”

“Enggak Riz..”

“Lalu? Apa dia juga cinta sama kamu sampai kamu gak mau orang lain dampingi kamu?”

Cinta? Entahlah, apa Zhafran punya perasaan yang sama seperti aku? Aku gak tau, mungkin sedikit, atau gak sama sekali? Aku sungguh tak pernah pikirkan itu sebelumnya. “Aku gak tau. Aku cuma ingin sendiri saja Riz, aku gak perduli dia punya perasaan yang sama atau tidak sama aku. Aku cuma ingin dia bisa menjadi seorang yang baik…”

“Sungguh beruntung lelaki itu Manda, dia dapatkan cinta kamu yang sangat tulus. Tatapan mata kamu, senyum kamu, aku tahu kamu sangat tulus cintai lelaki itu. Sungguh sangat beruntung dia. Aku jadi iri padanya…”

Aku tersenyum, benarkah Zhafran beruntung dapatkan cintaku yang hanya seperti ini adanya? Ya Tuhan aku sangat berharap dia juga cintai aku, walau rasanya itu tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin? Apanya? Tak ada yang tak mungkin di dunia ini sayang. Mungkin aku tanyakan dia saja langsung, sekedar memastikan, aku butuh kepastian…

*****

Raut senyum indahnya, aku sungguh tak kuat menahan tangis bahagia ini. Aku terus tatapi dia, aku sangat berharap baik padanya.

“Kenapa kamu itu? Setiap kali aku ada dihadapan kamu, air matamu selalu jatuh percuma.”

“Aku seneng bang…”

“Apanya yang dibuat senneng? Ini hanya aku, seorang yang gak pantas dapat air mata kamu.”

“Air mataku gak akan kering kalaupun harus tatapi kau tujuh kali dua puluh empat setiap hari bang.”

Zhafran tersenyum. “Kamu ada –ada aja…”

“Bukan aku ingin bergombal, aku hanya katakan apa yang aku rasakan bang. Aku sungguh rindukan abang setiap malam.”

“Jangan cintai aku seperti ini Manda, aku gak sanggub membalas cinta kamu yang sangat tulus.”

“Cinta itu tak butuh balas budi bang. Aku hanya akan senang kalau abangpun juga senang.” Lekas aku menyeka air mataku. Ku tolehi semua sekitarku, sekedar membuyarkan pikiranku yang sangat menyiksa perasaan ku saat ini. “Boleh aku tanya?”

“Silahkan. Apa?”

“Gimana perasaan abang yang tahu aku bilang cinta seperti ini?”

Senyumnya melebar. “Haruskah aku jawab pertanyaan itu?”

“Iya, tolong jawab. Mungkin aku sangat mengganggu hidup abang sekarang.”

“Aku gak mau jawab.”

“Tolong jawab saja. Aku janji, apapun jawaban abang aku gak akan ganggu abang lagi…”

“Kalau aku tetap gak mau jawab?”

“Jawab aja.”

“Apa yang harus aku jawab?”

“Suka, sennang, benci, membosankan aatau….”

“Aku sennang…” Zhafran tersenyum memotong kata –kataku.

“Maksudnya?”

“Ya aku senneng kamu bilang cinta sama aku.”

“Koq bisa?”

“Ya aku suka sama kamu…”

OMG! Ya Tuhan?! Pernyataan apa itu? Apa aku gak salah denger? Dia bilang suka sama aku? Apa itu artinya cintaku gak bertepuk sebelah tangan?

“Aku minta kamu terus gangguin aku, aku gak akan marah koq…” Tambahnya terus tersenyum padaku.

‘Ya aku suka sama kamu..’

Sepenggalan kata itu tentu tak membuatku segera memejamkan mata, walau jam sudah tepat ditengah malam. Ya Tuhan, sebegini bahagianya aku mendapati sebuah pernyataan yang sangat mengejutkan hatiku. Aku sungguh senang, rasa girang membuat aku terus berguling –guling di atas tempat tidurku yang sudah berantakan sekali.

Lalu? Apa yang akan aku lanjutkan besok? Apa yang akan aku perbincangkan dengan dia besok? Ah aku sungguh bingung, bagaimana kalau aku hanya terus tersenyum tanpa sepatah katapun di depannya? Ah! Gak boleh dong! Tapi sungguh aku dibuatnya jadi semakin gila sayang…

*****

Matahari tertutup awan hujan, wajar lah ini musim air turun. Tapi itu tak merundungi senyumanku yang sudah terbit sejak subbuh tadi. Hari ini akan menjadi hari yang sangat panjang buatku.

Cintia!

Iya aku lihat dia sedang duduk sendiri di kursi kantin. Perlu aku hampiri atau gak ya? Sudah lah gak penting, pasti juga dia akan ngoceh lagi nyela –nyela Zhafran lagi. Hmmm…

Astaga! Siapa dia? Seorang lelaki yang tak asing datang padanya dan cipika –cipiki?! Seketika juga aku teriris sakit melihat adegan yang sulit aku percaya. Zhafran datang menghampiri Cintia? Dan Cintia sangatlah welcome dengan kehadiran lelaki yang selalu ia hina?

Munafik!

Sungguh munafik perempuan itu!

“Cintia! Gue mau ngomong penting sama lo sekarang!” Aku menghampirinya.

“Ada apa lo? Kasar baget sih?” Katanya terheran –heran.

“Manda? Kamu kenapa?” Sambung Zhafran yang turut campur.

“Diem kau!” Bentakku. “Lo Munafik juga ternyata ya…”

“Ngomong apa sih lo Man?”

“Lo bilang Zhafran cowok gak benner, lo hina dia sampek gak sedikitpun bagusnya dia kebaca sama lo. Tapi sekarang? Apa? Gue lihat lo sok –sok baik sama dia, lo cipika cipiki? Seakan –akan lo baik –baik aja sama dia gak pernah masalah sama dia??”

Cintia malah tertawa padaku. “Lo ada –ada aja Man…”

“Ketawa aja terus, jangan berhenti! Dan kau bang! Awas kau!” Ancamku menandaskan pertemuan itu.

Entah aku tak perduli lagi kalau harus terlihat konyol dihadapan mereka berdua. Yang penting aku gak suka dengan kemunafikan Cintia!

“Manda!” Argh! Sang pangeran mengejarku.

“Apa?” Jawabku ketus.

“Kamu siapa?”

“Aku orang?! Kenapa?” Aku berbalik menghentikan langkahku.

“Kamu koq sampai semarah itu?”

“Hey! Tau gak sih orang cemburu itu gimana? Sekarang ini ceritanya aku cinta sama kamu. Dan aku gak suka ada orang yang hina –hina kamu, eh sekarang malah sok –sok baik sama kamu. Ngerti gak sih perasaan aku ha?!”

“Okay, sorry…”

“Tau Ah!” Aku kembali menandaskan kataku.

Oh ya? Inikah yang dikata cemburu? Tak senang melihat orang yang kita cintai bersama orang lain? Mungkin, tapi aku tak yakin. Terserahlah, aku hanya ingin dia untukku seorang…

*****

Oh ya? Sampai kapan aku harus tersiksa dengan perasaan cemburu yang semakin tak karuan seperti ini? Aku merasa sangat kesal sekali dengan setiap perempuan yang berdekatan dengan dia. Wajarkah ini? Atau aku yang terlalu posesive berlebihan? Siapalah aku ini, pacarnya saja bukan. Aku hanya seorang perempuan yang sangat berharap untuk berbalas cinta dengan seorang Playboy seperti Zhafran. Ah iya! Aku lupa kalau dia seorang playboy. Harusnya aku sudah mau tanggung resiko seperti ini.

Ya Tuhan?! Harus bagaimana aku sekarang? Ini baru sekali dua kali nampak jelas di hadapanku kejelekan dia yang tak seberapa besar, tapi nanti? Entah apa apalagi yang akan terjadi.

“Aku gak nyangka kamu sampai segitu cemburunya…” Zhafran merapihkan poniku yang tergerai kedepan.

“Sudahlah jangan dibahas lagi itu…”

“Kenapa? Kamu malu?”

“Gak gitu. Aku cuma kesal saja…”

“Kesal kenapa?”

“Aku pikir dia itu seorang yang konsisten dengan ucapannya. Ternyata dia malah lebih buruk dari yang aku bayangkan.”

“Maksud kamu?”

Aku melepas tangan Zhafran yang sejak tadi memainkan rambutku. “Sebelumnya, abang emang segitu dekat dengan Chintia?”

“Iya, kenapa?”

“Owh, jadi selama ini dia jelek –jelekin abang di depanku, sementara dia juga terus nempelin abang dibelakang aku.”

“Jellekin gimana?”

“Abang masih suka keluar malam ngapain sih?” Urusku merubah nada.

“Kan seperti biasa aku kumpul –kumpul sama anak –anak. Kenapa sih?”

“Sungguh? Lalu, apa abang masih suka minum?”

Zhafran terdiam sejenak, ia seperti terkejut dengan pertanyaanku yang to the point langsung. “Kamu koq…”

“Masih atau gak?”

“Minum kopi koq…”

“Sungguh?” Aku tak yakin dengan rupa melarikan diri itu. “Maaf, kalau aku tanya begini sama abang, aku cuma khawatir aja. Aku gak mau abang masih terus terusan terjun di dunia seperti itu.”

“Kenapa? Kamu malu?”

“Bukannya aku malu. Yang benar saja lah bang, apa itu miras? Semua orang tahu, itu munuman yang sama aja racun mematikan. Memang gak langsung mati, tapi itu merusak bang…”

“Iya aku tahu…” Zhafran mengalihkan pandangannya. Ia diam tertunduk seakan menahan rasa malu.

“Sudahlah, aku harap semuanya baik aja bang…”

*****

Pertemuan terakhir yang teraneh aku rasa. Tak seperti biasanya Zhafran bergegas terburu –buru pergi. Biasanya saja kami berdua paling sulit untuk mengakhiri pertemuan. Ada apa ini? Bahkan parahanya akhir –akhir ini Zhafran justru seperti menghindari aku.

“Abang…!!” Aku baru melambaykan tangan menyapanya di perpus. Eh Zhafran malah bebalik seperti tak lihat aku, padahal aku yakin betul dia punya mata dan pendengaran yang normal semua.

Sungguh seminggu ini aku berkurang perbincangan dengannya. Ya Tuhan! Apa yang terjadi padanya? Apa sejak pertanyaan watu itu ya? Iya kah?

Aku sungguh gelisah sekarang, apa yang harus aku lakukan? Aku tak punya teman curhat lagi sekarang, sejak waktu lalu aku lihat Chintia bersama Zhafran aku tak pernah menyapanya lagi hingga detik ini.

Ya Tuhan, aku semakin gelisah. Ini memang hanya urusan percintaan yang tak penting. Tapi hati Zhafran adalah hidupku. Aku tak ingin kecewakan dia ataupun membuat dirinya malu di hadapku.

Abang, ayo muncullah aku sangat rindukan dirimu…

Aku sayang sama abang, jangan lari menghindari aku seperti ini…

Oh Tuhan aku sangat inginkan dia kembali padaku…

Aku inginkan yang terbaik untuknya, jadikan ia tinggalkan semua keburukan…

Ya hanya itu yang aku tuliskan di lembar –lembar dairy biru punyaku setiap malam. Sungguh aku dilanda rindu yang sangat menyiksa batin ini. Inikah yang namanya jatuh cinta? Inikah yang namanya cinta sesungguhnya? Merindu hingga setengah mati? Seperti judul –judul lagu penyanyi di televisi? Kalau setiap hari aku seperti ini lebih baik aku sakit demam saja, batuk, pilek, panas, dingin, ya, semua itu akan aku terima dengan seikhlas mungkin asalkan aku bisa bertemu dan berdekat kembali dengan Zhafran. Tapi apa mungkin itu terjadi? Hanya Tuhan yang tahu…

Tak terasa sudah dua hari aku dilanda demam sungguhan. Tapi aku belum juga bertemu dengan Zhafran.

“Ma, Aku mau ngampus aja lah…” Pintaku paksa.

Dan selalu Mama jawab. “Heh! Panas kamu hamper tiga sembilan, mau ngampus? Yang ada step dijalanan kamu. Aneh –aneh aja ah…”

“Gak kira ah Mama…”

“Ngapain juga sih kamu maksa ngampus? Biasanya juga malesnya minta ampun…” Tanya Mama dengan mimik penasaran nan curiga.

Haha! Mama sangat benar, kalau bukan karena ingin sekali bertemu dengan Zhafran, mana rajin seorang Manda Selia ngampus?!! Tapi, kali ini lain cerita Mama, aku harus temui Zhafran untuk minta maaf padanya. Percuma, Mama juga tidak akan mengerti semuanya.

Tok tok tok!

Tumben pintu kamarku di ketuk, biasanya langsung masuk.

“Masok aja lah…!!!” Teriakku kasar.

Tanpa ada yang menjawab, gagang pintu itu berputar. OH my GOD! Aku langsung terjaga dari tidurku yang penuh kepusingan. “Abang?!” Aku ternganga.

Disitu Zhafran malah tersenyum padaku. “Iya.”

“Tolong cubit aku…” Aku terus menatapinya tak percaya.

“Cubit? Ngapain?”

“Ini benar kau abang? Aku gak lagi panas tinggi kan? Ngigau? Atau mimpi?”

Zhafran duduk di pinggir tempat tidurku, ia usap pipiku lembut. “Kamu memang masih panas, tapi ini aku sungguh bukan mimpi. Kerasa kan?”

Aku genggam tangannya yang menyentuh pipi. “Iya, tangan ini masih terasa.”

“Ya sudah, kamu pasti masih pusing. Tidur lagi saja...”

Aku kembali melentangkan tubuhku. “Abang kemana aja? Aku takut bang…”

“Kenapa takut?”

“Aku kangen sama abang. Aku gak mau kehilangan abang…”

“Kangen? Kenapa harus kangen sama aku?”

“Kalau bisa aku juga gak mau kangen abang. Tapi gimana? Perasaan gak bisa dipaksa dan dihalangi bang…”

Zhafran tersenyum. Senyumnya seakan menjadi obat yang sangat mujarrab bagi penyakitku ini. Mungkin ini yang dikata penyakit malaRindu. Saat aku telah bertemu dengan Zhafran, maka panas tubuhku langsung turun normal. Oh, sungguh kuasa Tuhan tiada yang tahu. Yang penting kini hatiku kembali menenang…

*****

Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya, senyumnya, semua tentang dirinya. Cintaku tak sebuta mata orang yang tak bisa membadingkan rupa menawan dan yang tak pantas terlihat. Aku akui Zhafran tak sedikitpun sempurna, rupanya hanya biasa saja. Aku cintai dia karena dia sangat menghargai aku. Tak pernah berpasang ulah yang menyakiti aku.

Zhafran, Zhafran…

“Whey!!” Rizi datang mengejutkan aku.

Segera aku tutup layer hapeku, bahaya kalau dia tahu aku sedang pandagi foto Zhafran. “Ah, ngagetin aja…”

Rizi duduk di depanku. “Koq senyum –senyum sendiri? Abis liatin apa di hapemu?”

“Gak koq…”

“Bohong! Ayo sini aku lihat bagi –bagi juga dong senyumnya…”

“Gak Rizi. Aku gak liatin apaan koq. Salah tah? Lagian suke –suke gue dong…” Aku berlanjut cekikikan sendiri.

“Ya deh…” Rizi berfikir. “Eh, gimana kabarnya orang yang kamu sukai itu? Apa kamu dah tau dia suka juga sama kamu?”

Aku melepas tawaku dan tersenyum perlahan. “Dia mengakui juga suka sama aku, tapi…”

“Tapi apa?”

“Aku takut.”

“Kenapa?”

“Aku takut dia hilang begitu aja dari hadapanku.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Aku gak tau, cuma perasaan aku aja. Sudahlah, itu gak penting koq…”

“Ya terserah kamu aja.”

Zhafran, dia teman baik dengan Rizi. Apa Rizi tau siapa Zhafran sebenarnya?

“Kamu kenapa?” Tanya Rizi menatapku heran.

“Boleh aku tanya?”

“Silahkan. Apa?”

“Ini tentang Zhafran. Kamu tau dia suka minum?” Aku memelankan nadaku.

Rizi tersenyum. “Minum es?”

“Haduh, bukan…”

“Minum kopi? Kayanya suka…”

“Astaga Rizi, gak usah sok begok deh. Yang aku maksud miras miras???”

“Miras?” Rizi mengulang kataku dengan matanya yang nyaris melompat. “Tahu dari mana kamu?”

“Jawab dulu, kamu tau gak?”

“Bentar deh, kamu dapet kabar itu dari mana?”

“Jawab dulu nanti aku ceritain semuanya.”

“Gak, aku gak tau.”

“Owh…”

“Apa ceritanya?”

“Dah bertahun tahun dia jadi tukang minum. Dulu pernah aku tahu katanya dia sudah tobat. Tapi aku dengar kemarin ternyata dia masih saja dengan racun itu. Temanku cerita semuanya dia kenal baik dengan teman yang sering ngajakin Zhafran minum.”

Rizi menggeleng –gelengkan kepalanya tak kuasa mendengar kenyataan teman baiknya itu. “Kenapa sampai seperti itu?”

“Aku sih gak kaget –kaget amat. Dia asal dari keluarga broken home. Ibunya sibuk sendiri, sementara Ayahnya entah kemana kabarnya. Kalau saja dia bukan orang yang tergolong dekat sama kita, mana aku perduli. Dia mau jungkir aku tak perduli…”

“Iya, terserah kamu…”

“Oh iya, tolong kabar ini cukup sampai kau aja ya. Aku gak enak juga kalau harus menyebar hal seperti ini.”

“Iya, aku tutup mulutku…”

Aku munafik juga ternyata, berlagak tak perduli padahal aku sangat cintai dia. Maafkan aku bang, bukan maksudku memojokkan dirimu…

“Manda…” Panggil Rizi pelan.

“Iya?”

“Kalau aku minta satu hal sama kamu, apa kamu bersedia kasih?”

“Hmm, minta apa dulu dong?”

“Aku minta kesempatan untuk mengambil hatimu yang selama ini kamu berikan pada orang lain.”

Aku tersenyum. “Serius?” Aku tahi ini pasti akan terlontar dari mulut Rizi.

“Koq serius sih?”

“Setiap kali kamu menggombal itu bikin aku pengen ketawa aja…”

“Aku serius Man, aku minta kamu jadi pacar aku ya…??” Rupa Rizi tak tersenyum.

“Rizi, koq jadi gini sih?”

“Please. Give me a chance…”

“Give me time to think…” Aku tersenyum padanya.

Hmmm, kenapa ceritanya jadi seperti ini? Kan aku ngincernya Zhafran. Bukannya aku harus bertemu dia, aku malah di tembak sama Rizi. Life is so strange!!!

*****

Mulut itu tak berhentinya bergerak membuka menutup. Dua bola mata ini sudah digandrungi sekarung tepung, sungguh berat untuk dipaksa membuka. Aku tolehi kanan kiriku, ternyata tak hanya aku yang rasakan ini. Wah wah, maafkan kami Madam…

Tik tok tik tok!!!

Akhirnya, bagai bebas dari belenggu jam kuliah yang paling memboring berakhir juga. Lekas lah aku melangkah keluar ruangan. Lalu? Entah siapa yang akan aku temui sekarang, tak ada lagi Zhafran yang biasanya sudah menunggu di luar kelasku. Tak ada lagi Chintia yang aku pikir teman terbaik yang aku miliki seumur hidupku. Rizi? Entahlah, aku tak pernah harapkan dia sama sekali.

“Aduh!” Seorang teman telah menabrakku yang diam di jalanan.

“Owh sorry…” Katanya.

“Gue yang sorry…” Aku langsung menyingkir dari jalanan. Menoleh kanan kiri entah apa yang aku cari saat ini. Aku putuskan untuk duduk sendiri di kantin mungkin lebih baik.

Ah! Astaga! Aku menolehi di bawah naungan pohon besar ada Zhafran. Aku lekas berlari menghampiri dia. Tapi buat apa? Entahlah yang penting aku harus temui dia sekarang.

“Abang!” Aku panggil dia dari belakang.

Zhafran berbalik, rupanya tanpa ekspresi apapun. “Apa?” Katanya tak bernada.

“Koq apa?”

“Terus?!”

“Okay, aku gak tau ada perlu apa sama kau.”

“Okay aku harus pergi.”

“Kemana?”

“Masih ada urusan penting.” Kemudian ia berbalik.

Aku tarik tangannya. “Penting atau sengaja menghindar?!”

Zhafran terdiam.

“Tolong jangan menghindar dari aku seperti ini.”

“Siapa yang menghindar?”

“Kalau bukan mengindar apa namanya? Selama seminggu ini sikap abang berubah drastiss sama aku. Apa salahku bang? Aku minta maaf…”

“Kamu gak salah apa –apa. Aku memang sedang sibuk sekarang. Maaf…” Tandasnya sambil melepas tanganku dan pergi.

Oh ya?! Aku tak yakin dia tidak menghindar dari aku. Pasti ada yang salah dengan itu, atau jangan –jangan ini karena lontaran pertanyaanku yang mungkin membuat dirinya malu untuk dekat dengan aku lagi? Terakhir kali itulah yang aku bahas dengannya hingga ia terus kabur dari aku hingga sekarang.

Aku terkejut menoleh saat seseorang menyentuh pundaku.

Aku tersenyum. “Rizi…”

“Kenapa Zhafran?”

“Ah, aku gak tau…” Elakku. Kemudian berbalik meninggalkan dia.

Rizi membuntuti aku. “Cowok beruntung itu bukan Zhafran kan?”

Aku mendadak berhenti. “Beruntung gimana maksud kamu?”

“Sudahlah Manda, aku tahu koq cowok yang kamu maksud itu Zhafran.” Rizi membalikkan tubuhku untuk menghadapnya. Ia tersenyum padaku. “Kamu cukup jujur aja sama aku. Itu hak kamu mau suka sama siapa aja…”

“Aku munafik ya.” Mata ini mulai berkaca –kaca. “Aku bilang, aku gak perduli sama dia, padahal sebenarnya…”

“Udah –udah, cukup. Jangan kamu nangis cuma karena hal seperti ini ya.”

Aku mengangguk dan memaksakan sedikit senyumanku. “Iya. Okay aku harus pergi sekarang, ada yang harus aku urus segera…”

“Ya terserah kamu.”

Tanpa kata lagi aku meninggalkan Rizi. Mungkin lebih tepatnya aku sedang menghindari dia untuk saat –saat ini.

Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kenapa sebuah cerita cinta sedang mendominasi kehidupanku saat ini? Zhafran, dia sungguh buat aku jadi menggila. Aku ingin dia tahu, kalau setiap malam aku harus membuang air mataku hanya untuk berdo’a memohonkan yang terbaik untuknya.

Cintaku mungkin terlalu besar tak sebanding rasa cinta yang ia miliki untukku. Ya aku pastikan perasaan ini tidak akan pernah berakhir sampai kapanpun. Seorang Zhafran hanya akan menempati ruang terindah di hatiku. Hanya dia, Zhafran seorang yang berharga dan segalanya di setiap nafasku. Dialah yang mengenalkan aku pada sebuah rasa terindah, mengenalkan aku bagaimana menyayangi seseorang. Semua hanya tentang dia seorang.

*****

Zhafran…

Zhafran…

Zhafran…

Dalam sehari duapuluh empat jam, aku bisa menyebutkan nama itu sejuta kali. Bagaimana ini?! Kalau tahu begini dari awal aku tak perlu katakan perasaanku sejujurnya pada dia. Aku pikir setelah ini semua akan baik –baik saja, tapi kenapa harus lebih membebani pikiranku seperti ini?

Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pergi menjauh melepaskan Zhafran dan lupakan dia? Mencari yang lain? Atau aku akan menerima Rizi sebagai pelampiasan kekecewaanku pada Zhafran?

Maafkan aku Rizi, tapi mungkin aku bisa melupakan dia denganmu…

“Iya, aku mau…” Tegasku walau rasanya sungguh berat.

Rizi yang harap –harap cemas langsung berjikrak, melompat kesana kemari kemudian memelukku dengan erat penuh rasa bahagianya. “Yas, yes! Akhirnya….!!!!”

“Hey Rizi, pelukan kamu ini bikin aku bentar lagi mati tau…!!!” Seruku seraya bergurau.

Rizi melepas pelukannya. “Ups Sorry, aku kelewat bahagia sekarang Manda…” Senyuman bahagia itu sungguh membuat lukaku semakin mendalam.

Aku tersenyum.

“Kalau gitu, sekarang aku bisa panggil kamu sayang dong??!!”

“Terserah kamu…”

“Manda sayang… hehe…”

“Boleh aku minta satu hal?”

“Silahkan sayang…”

“Tolong rahasiakan hubungan kita dari Zhafran…” Aku memelakan kataku.

Muka ceria itu terkejut. “Kenapa? Cepat atau lambat dia pasti tau kan. Gossip itu cepat sekali menyebar.”

“Aku… jangan sekarang saja. Aku ingin dia tahu sendiri tanpa kamu kasih tahu dia.”

“Okay terserah kamu…”

Maafkan aku Riz, aku gak mau dia marah apalagi kecewa sama aku. Walau aku tak lagi berhubungan dengan dia sekarang, tapi perasaanku semakin yakin mengatakan dia itu sayangi aku sepenuh hatinya…

Apa ini? Cobaan? Ujian? Atau tantangan? Bahkan musibah?!!

Siapa yang ada di sebelahku saat ini? Seseorang yang tak sedikitpun aku berikan perasaanku. Mungkin ini masih terlalu awal untuk melupakan semuanya. Tapi aku tak yakin aku bisa melupakan semuanya itu.

Statusku sekarang sudah berubah ‘in relationship with’ Rizi. Kemana –mana dia bagai bodyguard yang berjalan di sampingku, menjaga aku dengan penuh perhatian extra. Aku ini putri raja, yang bersedih karena tak bisa menggapai sang pangeran berkuda putih.

Pungguk merindukan bulan, rasanya aku sudah tak mungkin lagi menemukan Zhafran menyapaku dengan penuh senyuman seperti saat –saat dulu. Tak terasa hubungan ini sudah sebulan aku jalani, namun masih tak ada benih –benih yang bisa tumbuh karena tanah dihatiku sudah terlalu tandus untuk ditaburi cinta Rizi. Tapi semua berjalan sangat baik, aku hargai dia sebagai seorang kekasihku walah rasanya terbatas. Hati Rizi yang terlalu baik sangat menenangkan aku, ia rela memaklumi kekurangan cintaku.

“Maaf Riz, sampai saat ini aku masih…”

Rizi mengepal tanganku. “Udah, jangan kamu bahas ini lagi. Sebulan itu masih waktu yang sangat singkat. Aku yakin suatu saat nanti kamu pasti bisa sayang…”

“Terimakasih Riz, kamu itu terlalu baik sama aku…”

“Gak usah terimakasih. Aku lakukan ini karena aku sungguh –sungguh sayang sama kamu.”

“Aku hargai itu Riz…”

“Laporan gue yang kemarin mana bro?!” Tanya Zhafran yang tiba datang dengan pertanyaan to the point tanpa basa –basi yang sangat basi sekalipun.

Aku langsung melepas genggaman tangan Rizi. “Bang Zhafran??!” aku sungguh terkejut dengan kedatangannya yang tanpa sapa salam.

“Wah! Sial! Gue lupa, ketinggalan di rumah!” Rizi menepak dahinya sendiri.

Aku tatapi terus rupa Zhafran yang tak sedikitpun tersenyum dan menolehiku. “Udah, kamu cepetan ambil di rumahmu sana. Sepertinya bang Zhafran keburu sekali.”

“Ah! Sorry gan! Gue cabut dulu, gue ambil di rumah ya… bentar koq…” Sesegera mungkin Rizi meninggalkan aku dan Zhafran pergi.

Ah! Jantungku, tanganku, suaraku, semuanya rasanya begetar sangat kencang saja.

Zhafran berbalik hendak pergi. Untung aku berhasil menarik tangannya. “Masih gak ngaku kalau ini bukan menghindar namanya?”

Tanganku dilepasnya menyentak. “Jangan ganggu aku lagi.”

Aku kembali tahan dia. “Kenapa?! Sikap abang yang begini sangat nyiksa aku bang…”

“Lupain aku! Pergi sana!”

“Bang! Kenapa abang ini? Jangan ginikan aku bang. Please…!” Air mata kesedihanku yang pertama kali jatuh dihadapannya.

Zhafran menunduk. “Mau apa lagi kamu sama aku ha? Kamu sudah pacaran sama Rizi!”

“Kenapa? Rizi cuma jadi pelampiasan aku bang…”

“Bohong!”

“Apa yang bisa buat abang percaya ha?!”

“Kamu itu pembohong! Kamu cuma mainkan perasaan aku! Jangan harap aku akan percaya lagi sama semua omongan kamu!”

“Aku begini karena abang! Tolong abang mengerti aku. Jangan diamkan aku bang…” Derai air mata ini semakin menderas saja. Aku sungguh tak kuat menahan emosiku.

“Aku benci sama penghianat seperti kamu!” Tandasnya kemudian meninggalkan aku.

Astaga! Tuhan, ini sungguh terberat dalam hidupku. Aku bukan penghianat seperti apa  yang dikata olehnya.

*****

“Cinta, itu sebuah perasaan yang sangat indah, dimana kita sebagai manusia tidak bisa mengelaki hadirnya dan memaksaan kedatangannya. Maafkan aku Riz, aku gak mau membuat kamu semakin berharap lebih dalam lagi sama aku. Aku tak bisa memberikan apapun untuk membalas semua kebaikan kamu selama ini.” Aku ungkapkan semua, walau tahu itu menyakitkan untuk Rizi yang mukanya sudah mengkerut.

Angin, tetesan air kecil dari langit, langit abu –abu, semua se kelabu hati ini. Aku tak bisa berlama –lama untuk tetap menjadi sesosok yang mamaksakan diri sementara aku sendiri tak bisa memberikan sebuah kepastian yang pasti pada Rizi. Aku tak mungkin terus memberi harapan kosong padanya. harapan yang hanya sebatas impian semata…

“Aku ngerti Man, maaf aku juga memaksakan kehendakku.”

“Maafkan aku Riz…” Tandasku.

Sungguh aku minta maaf Rizi, aku sangat mengecewakan. Sementara aku tidak tahu keberadaan Zhafran sekarang. Entah dimana dia, aku tak tahu lagi gimana caranya menemukan dia dan memperbaiki semua salah antara aku dan dia.

Oh Tuhan! Seburuk ini kah aku harus merasaakan yang namanya jatuh cinta?!!!! Rasa paling indah namun sangat menyiksa batin dan pikiran kita. Kenapa ini semua harus aku alami Tuhan, adakah hal yang lebih pantas untuk aku dapatkan selain siksaan ini?

Waktu itu breputar dua puluh empat jam, dan sampai detik ini aku tak temukan Zhafran muncul dihadapanku. Sampai kapan aku akan terus seperti ini?? Aku benar –benar tak sanggub lagi rasanya. Aku hanya bisa menatapi raut mukanya di layar maya ini. Abang, dimana kau?? Aku sangat rindukan mu...

Bawalah pergi cintaku, ajak kemana kau mau....

Getaran dari panggilan itu sangat mengejutkan aku. Aku lihat panggilan itu dari ‘Zhafran?’ Benarkah itu dia?

“Hallo?” Lekas aku menjawab telponnya.

Di jauh sana sangat terdengar gemerisik lagi disko yang keras. “Hallo?”

“Abang?”

“Maaf, saya mau kasih tahu, pemilik hape ini sedang mabuk berat, tolong segera dibawa pulang.”

“Apa?! Abang mabuk?!”

“Alamatnya nanti saya smskan lewat nomor ini...” Katanya kemudian langsung dimatikan.

Astaga ya Tuhan! Apa aku tidak salah dengar ini? Kenapa aku yang temukan dia dalam keadaan seperti ini?

Ampuni aku karena telah memasuki tempat seperti ini. Sungguh aku merasa sangat buruk, kemana aku harus membawa dia? Aku tak mungkin membawa pulang Zhafran dalam keadaan mabuk seperti ini.

Sebuah panggilan darurat aku lekas tujukan pada Rizi, hanya dia yang bisa aku andalkan sekarang.

“Dia sudah sangat buruk, terlalu banyak minum...”

Hatiku menjerit, orang yang sangat aku cintai harus kutemukan dengan keadaan seperti ini. “Kenapa abang lakukan ini bang...??” Aku terus membelai wajahnya dipangkuanku.

“Aku sungguh tak menyangka ini akan terjadi Man...”

“Bayanganku pun tak sampai seburuk ini Riz...”

“Aku bisa mengerti itu. Sekarang kita mau bawa kemana dia?”

“Hotel saja. Biarkan dia sampai sadar besok pagi.”

“Terserah kamu saja...”

Stir itu dibanting Rizi pada sebuah hotel yang tak terlalu mewah, yang penting buat dia nyaman untuk tidur semalam. Aku dan Rizi memapahnya ketempat tidur.

“Terimakasih Riz...” Lagi –lagi aku menangis seketika.

Rizi memelukku lembut. “Aku akan selalu ada buatmu Man...”

“Aku gak sanggub, setelah apa yang dia lakukan sama aku. Dia menghindar pergi tanpa kabar, perasaan aku sama dia sungguh sangat menyiksa aku. Aku gak tega melihat dia seperti ini. Aku yakin dia pasti akan sangat malu kalau tahu aku yang ada disamping dia saat ini...”

“Sudah cukup jangan kamu menangis terus seperti ini Man. Kamu menghadapi orang seperti dia, air matamu hanya akan jatuh percuma...”

Menangis dalam pelukannya membuat aku merasa sangat nyaman dan terlindungi sekarang. Aku butuh seorang yang bisa mengerti aku sekarang.

“Biar aku antar kamu pulang sekarang...”

Aku hanya mengangguk, aku juga tak ingin berlama –lama melihat orang yang sedang sakit seperti dia.

Sesekali ia menolehiku memastikan aku masih baik –baik saja. Entah apa yang ada digumamannya, tapi itu sangat memastikan dia sedang berfikir sesuatu.

Akhirnya sampai, aku turun dan Rizi mengantarkan aku hingga depan pintu rumah.

“Aku sungguh berhutang sama kamu Riz...”

“Jangan bilang gitu, aku hanya lakukan apa yang memang harus aku lakukan. Itu sudah kewajiban aku...”

“Maafkan aku selalu menyusahkan...”

“Manda... sudah berapa kali aku bilang...”

“Tapi Riz, kamu itu terlalu baik buat ku...”

“Shue,shue,shueeett... jangan kamu lanjutkan lagi ya. Aku mohon kalau kamu masih anggab aku sebagai teman baikmu...” Tangannya mendarat dimukaku. Ia belai lembut pipiku, dan iapun menghapus air yang mengalir di ujung mataku. “Zhafran tak pantas mendapat tangisan lebatmu Man. Kamu terlalu sempurna buat dia...”

Aku tertunduk diam. Aku tak bisa berkata apa –apalagi.

*****

“Cinta adalah rasa terindah yang perhah singgah dalam hati ini. Walau sulit, cinta dapat memudahkan itu. Dingin menyelimuti tubuh, dan cinta yang menghangatkan hati. Cinta, sebuah rasa yang menutup segalanya, tak pisahkan kaya dan miskin, ruoawan dan yang buruk, yang hitam dan yang putih...”

Aku terpaku saat mendengar sebuah radio berbicara itu. Kenapa harus cinta yang menjadi landasan hidup? Dan lagi –lagi mataku ini meneteskan air mata.

Sejenak dengan ketenangan puisi di radio, pikiranku terpecah oleh reriungan para orang –orang yang sedang berlarian searah, seperti sedang ada atraksi yang tak boleh terlewatkan.  Aku menoleh kebingungan.

“Tunggu..” Aku menarik tangan seorang mahasiswi. “Ada apa?”

“Ada yang lagi berantem...”

“Berantem?”

“Iya, seru...”

“Berantem koq seru, siapa yang berantem?”

“Ah aku gak tau juga,  nih mau lihat.. dah dulu deh...” Perempuan itu lekas berlari besama yang lainnya menuju tkp.

Seheboh itukah orang berantem sampai semuanya berkumpul seperti mau ada pertunjukkan? Rasa penasaran ini sangat kuat hingga menggerakkan kakiku mengikuti mereka.

“Lu Cowok brenksek!!” Suara geram itu terdengar seperti Rizi.

Aku menyelip ketengah kerumunan manusia itu. Astaga! Rizi dan Zhafran!

Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan ini?!

“Tolong pisahkan mereka!” Aku berteriak. “Hentikan Rizi! Hentikan kalian berdua!!!!” Sedikit lagi pita suaraku pasti putus.

Muka mereka sudah tak nampak jelas, itu bukan pertarungan biasa. Darah sudah bertumpah diantara dua sahabat itu.

“Manda...” Panggil Rizi tak menyangka kaberadaanku.

“Kenapa? Kenapa Rizi? Kenapa kalian seperti ini?”

“Manda, maafkan aku...” Ucap Rizi.

Aku menatapi Zhafran, mulutnya masih terbungkam untuk berkata menjawab pertanyaanku. “Abang, kenapa begini bang?”

Zhafran justru pergi dengan lumuran darahnya.

Aku ingin sekali mengejarnya, tapi, Rizi juga butuh aku.

Semua penonton dan suppoters itu bubarkan diri.

Ku comot botol alkohol yang ada di lemari kaca besar itu. Tanpa berucap ini itu, aku duduk di hadapan Rizi dan membersihkan lukanya.

“Maafkan aku Manda...” Katanya sambil merintih perih.

Dan aku masih diam.

“Aku tahu, kamu pasti kecewa melihat kejadian itu. Aku tahu aku salah, aku terlalu emosi...”

“Jangan berbicara apa lagi...”

“Manda...”

“Sudahlah, semua udah terjadi sekarang...”

“Tapi, aku tahu kamu sangat marah denganku kan?”

“Rizi,  tolong aku tidak sedang ingin menjawab semua omonganmu sekarang.”

“Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak akan pernah terima atas semua yang sudah dilakukan lelaki brengsek itu sama kamu. Dia sudah membuang air matamu percuma, dan dia tidak memperdulikannya setetespun...”

Aku kesal dengannya. Aku buang kapas itu dan aku pergi dari hadapannya.

“Tunggu!” Sempat saja tangannya menahan tanganku. “Jangan pergi...”

“Apalagi?”

“Jangan pergi, temani aku disini...”

Aku melepas tangannya kemudian berbalik.

Astaga!

Rizi beranjak dari duduknya, ia mendekat padaku, sangat dekat, sungguh dekat. Matanya, membuat aku tak kuasa menahan detak jantungku yang semakin kencang.

Tcasshh!!!!

Suara gelas yang terjatuh itu memecah suasana kami. Serentak kami menoleh, dan aku sangat terkejut saat menemukan seorang Zhafran tengah melihat kami begitu dekat.

“Abang...” Aku ingin menghampirinya, namun tanganku masih terus ditahan oleh Rizi. Percuma aku terus mencoba melepaskan diri, genggaman Rizi terlalu kuat.

Aku menyerah, dan Zhafran, dia pergi dengan hentakan yang sangat marah. Aku tahu itu, matanya berkaca –kaca dan aku bisa rasakan dengan perasaanku.

“Biarkan dia...”

“Aku harus jelaskan semuanya sama dia...”

“Aku tahu.”

“Apa yang dilihatnya itu tidak seperti yang ia pikirkan.”

“Aku tahu.”

“Lepas aku Rizi...”

Akhirnya tanganku dilepas juga. Akupun segera berlari keluar berusaha mengejar Zhafran yang tentunya ia sudah jauh.

Sejak kejadian waktu itu, lagi –lagi aku tidak melihat batang hidungnya lagi seminggu ini. Lekas sekali ia menghilang, sungguh seorang yang sangat membingungkan aku. Zhafran, kenapa kau jadikan aku seperti orang gila seperti ini? Sungguh pikiranku hanya dirimu saja, aku sudah menyerah untuk berusaha baik denganmu. Kalau kau itu memang jodohku Tuhan akan memberikan jalan yang lain yang terbaik untuk kita, dan jika kau bukan jodohku, ku harap mulai detik ini aku gak akan melihat rupamu dan mendengar suaramu sekecil apapun.

*****

Duduk sendiri ditengah kesunyian ruangan yang penuh dengan milyaran ilmu. Tempat yang penuh kenangan, kalau saja bukan karena aku harus menemukan ilmu disini, aku tidak akan pernah kembali kesini lagi.

“Aduh!” Buku yang ku comot terjatuh. Aku membungkuk mengambil buku itu.

“Masih marah sama aku?” Tanya Rizi yang muncul dihadapanku.

Aku kembali menegakkan badanku. “Jangan bahas itu lagi...” Aku berjalan meninggalkan ia.

“Aku tahu, kamu masih marah tentang kejadian waktu itu. Aku minta maaf Man...” Rizi terus saja membuntuti aku.

“Sudah aku maafkan...”

“Kenapa kamu masih terus begitu?”

“Aku hanya...”

“Apa?”

“Sudahlah...”

“Apa karena Zhafran masih menghilang tanpa kamu jelaskan apapun?”

Aku mengehntikan langkahku dan berbalik. “Jangan pernah sebut lagi nama itu didepanku!”

“Maaf Man, sekali saja, benar bukan?”

Aku diam kemudian hanya mengangguk. “Sudahlah, jangan bahas itu lagi, aku tidak mau ungkit –ungkit masalah itu...”

“Baik cantik...” Goda Rizi tersenyum padaku.

“Aku memang cantik, baru tahu ya?!!!” Sahutku sok ketus padanya.

Sejenak aku bisa tersenyum kembali dengannya. Aku harap tak hanya pagi ini saja, tapi berlanjut hingga besok, besok, dan besok, dan besoknya dan seterusnya....

Mungkin kemarin dan dulu itu aku terlalu bodoh tak bisa mengendalikan perasaanku sendiri untuk mencintai seseorang. Sekarang aku sadar, mencintai itu tak selalu benar, terkadang cinta itu menjerumuskan kita pada sebuah kesengsaraan. Memang rasanya indah dan membuat kita melayang tinggi di udara, tapi itu hanya awal saja. Apalagi harus mencintai seorang yang tak sejalan dengan kita, memaksaan kita untuk mengerti, tapi mereka tak perduli dengan perasaan kita yang sangat tersiksa dibuatnya.

Semua ini harus berakhir, aku tak ingin mengenal lelaki itu lagi. Lelaki yang telah menyiksaku tanpa mau bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan selama ini. Datang tak dijemput, pergipun tak diantar. Merubah seseorang menjadi lebih baik itu tidaklah mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Dari sini aku hanya bisa mendo’akan dia, aku tak mengelakkan untuk mengatakan perasaan ini masih mencintai dia. Semoga kau temukan seseorang yang bisa merubah hidupmu lebih baik dari saat ini.

Tok tok tok!!

“Masuk...” Jawabku. Lekas aku tutup lembar buku biruku.

Muncullah Mama. “Ada yang datang cari kamu...”

“Rizi?”

Mama tersenyum. “Iya...”

Aku tersenyum. “Kalau begitu Manda sekalian pamit mau keluar ya Ma...”

“Mau kemana?”

“Hehe, Manda mau kencan dulu Ma.. kan mumpung malam minggu nih...” Aku menyengir kemudian keluar kamar segera menemui Rizi yang sudah duduk menantiku di sofa ruang tamu.

“Sudah siap?” Sapa Rizi yang menyambutku.

Aku kembali tersenyum. “Yups...”

Malam minggu yang panjang...

*****

“Eh masa sih?” Tanya Rizi dengan omongan kami yang tak terikat judul.

Aku dan dia sama –sama tertawa dengan obrolan yang tak jelas ini. “Ya iyalah, masa pas waktu itu lagi sama sih andara itu... duh langsung di recokin gitu...”

“Emang si tiang listrik itu mau apa?”

“Katanya dia....” Omonganku kian melenyap, saat seseorang muncul menghentikan langkah kakiku dan Rizi.

“Apa kabar Man?” Sapa Zhafran yang selama hampir dua bulan menghilang dari hadapanku.

Kenapa ini harus terjadi? Kenapa ia kembali muncul dihadapanku lagi. “Baik...”

“Hai Riz...” Sapanya juga pada Rizi yang membalikkan senyumannya.

“Baru muncul loe?”

“Sorry, Man, aku ingin bicara berdua sama kamu.”

“Mau apa loe?! Sudah ngilang terus datang –datang minta ngomong empat mata!”

“Riz, please...” Aku coba menengangkan Rizi.

“Okay, gue emang dah ninggalin Manda. Gue butuh waktu buat nenangin diri Riz. Dan Manda, aku harap kamu mau meluangkan waktu sebentar buat bicara sama aku.”

Aku memandang Rizi. “Aku memang harus bicara sama dia, biar semuanya selesai Riz...”

“Okay, terserah kamu...” Rizi kemudian meniggalkan aku dan Zhafran berdua.

Sebuah taman yang sepi di belakang gedung kampus yang tinggi, mungkin jadi saksi terakhir pertemuan aku dan Zhafran kali ini. Duduk berdampingan dan hanya diam tak lekas memulai perbincangan.

“A,a-aaku...” Katanya tergagap. “Aku, aku aku minta maaf...” kalimat itu dipaksakan selesai.

Ya Tuhan! Mendengar nada suaranya yang seperti itu membuat hatiku kembali tersentuh. Bagaimana ini, apa yang harus aku lakukan pada seorang yang sudah menyakiti hatiku ini? Yang sudah meniggalkan aku tanpa pesan, yang sudah menyiksaku dengan rindu yang aku rasakan selama ini. Dia tak kunjung menampakkan diri, hingga sekarang ia kembali datang saat aku telah mencoba melupakan dia untuk selamanya.

“Aku sadar, aku hanyalah seorang pengecut yang tak pernah berani untuk memperjuangkan semuanya yang memang harus aku miliki. Maafkan aku Manda...”

Akhirnya setetes air mulai turun di ujung mataku. “Aku gak tau lagi harus bilang apa bang...”

“Maafkan aku Manda, aku menyesal telah bersikap tak acuhkan kamu. Aku sadar semua itu salah, harusnya dari awal aku...”

“Cukup, jangan diteruskan lagi. Aku gak mau dengar apa –apalagi dari kau. Sudah, aku maafkan abang sekarang... jangan temui aku lagi, aku mohon....”

“Gak! Jangan Manda, jangan bilang begitu. Aku gak sanggub kalau harus kehilangan kamu lagi. Selama ini aku sudah cukup tersiksa melihat kamu dengan orang lain. Sementara aku tidak punya keberanian untuk....”

“Untuk apalagi? Semua sudah selesai sekarang. Aku bukanlah Manda Selia yang dulu, yang sangat tergila –gila sama kamu, yang selalu tersiksa oleh rindu yang tak kunjung temukan penyembuhnya! Aku gak mau punya perasaan cinta sama kau lagi!!”

Zhafran berlutut dihadapanku. “Jangan Manda, Cintai aku selamanya Man... aku mohon sama kamu. Jangan kamu lupain aku Man, aku butuh kamu Man. Jangan pernah pergi Man, aku mohon sama kamu.....”

Sikapnya akankah bisa menerobos pintu hatiku yang nyaris tertutup akan kekecewaan yang ia perbuat? Ya Tuhan, aku tak sanggub melihatnya seperti ini.

“Hanya kamu yang jadi harapan aku sekarang Man. Aku tak punya siapa –siapa lagi yang perduli dan menyayangi aku selain kamu. Dan aku sangat bersyukur pada Tuhan atas keberadaanmu selama ini...”

Aku masih terdiam dengan sejuta kegundahan hatiku.

“Aku hanya minta satu hal sama kamu Manda...”

“Apa?”

“Tolong dampingi aku menjadi orang yang lebih baik...”

Ya Tuhan, dia minta aku untuk...

Aku menarik tangannya. “Cukup jangan berlutut lagi...”

Zhafran berdiri tegap dihadapanku. “Aku malu atas apa yang telah aku perbuat selama ini didepan kamu. Izinkan aku membuktikan, aku bisa jadi lebih baik buatmu Manda...”

Cucuran air dimataku terus menderas. Aku sungguh tak menyangka semua do’aku terkabul, do’a agar dia mau untuk menjadi seorang yang lebih baik. Tersenyum aku katakan padanya. “Jangan sakiti aku lagi, aku akan ada selalu untuk abang...” Sebuah pelukan erat dan hangat aku berikan padanya.

“Terimakasih Manda...” Katanya membalas pelukanku dengan sangat erat. Aku dengar jantung itu berdetak sangat bahagia dan lega. Seperti halnya aku yang akhirnya bisa memeluknya sebagai orang yang ia sayangi.

Tuhan,

Engkau maha mendengar, maha mengetahui isi hati hamba –hambamu...

Engkau maha pengabul do’a hamba –hambamu...

Segala puji syukur dan terimakasihku hanya terucapkan untukmu...

Telah engaku kabulkan semua pengharapanku untuknya...

Hanyalah cinta yang sesungguhnya yang bisa merubah yang buruk jadi baik, hanya keihlasan yang bisa mensucikan cinta yang sejati...

Sungguh aku ikhlas mencintai dia dan hanya akan mengharap kebaikan darinya, untunknya dan hanya dirinya....

Setetes air bening mengakhiri tulisanku di halaman terakhir buku biru yang setiap malam aku tulis...

“Kali ini aku hanya mau bilang...” Mukanya melesu saat berkumpul bersama di cafe ‘Sini’.

“Apa?” Tanyaku dan Zhafran serempak.

“Hah, cinta itu tak harus memiliki...”

Aku dan dia saling melihat dan tersenyum.

“Pasti dapat yang baru deh...” Godaku.

Rizi tersenyum. “Ah tau aja....”

“Oh ya? Siapa?”

“Hai...” Sapa seorang gadis yang cantik, bahkan lebih cantik dari aku. Ia berjalan mendekat pada Rizi.

Aku dan Zhafran kembali tersenyum dengan sangat heran.

“Jangan bilang dia?” Terkaku.

“Tak ada yang kasih tau kau lah...”  

Serentak kami berempat kembali mengobral tawa tanpa halangan apapun lagi. Walau butuh waktu untuk memperbaiki semua kekeruhan yang ada, tapi aku sangat senang, lambat laun Zhafran mulai terbebas dari segala ketergantungannya terhadap racun –racunnya...



(Cerita pada darasnya memang diangkat dari kisah nyata yang pernah terjadi disekitarku, namun sedikit ada bumbu -bumbu agar lebih... lebih lebbay dikit lah....)
terimakasih....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 
;