“Kalau ibu sudah meninggal, jangan kamu tunggu siapa –siapa lagi untuk segera menguburkan jasad ibu nak…” Pesan Almarhumah Bunda sesaat sebelum hembusan nafas terakhirnya.
Lalu Annisa bagaimana? Dia hanya anak terakhir yang tinggal sendiri tanpa siapa –siapa lagi sekarang. Ia tak punya hak penuh untuk memenuhi semua itu. Satu demi satu delapan orang lelaki dan perempuan yang masih menjadi satu darahnya ditelponya.
“Tidak aktiv bu…” Anissa membanting telpon ditangannya. Ia sudah lelah dengan kedelapan saudaranya yang tak pernah memperdulikan keberadaan ibunya.
“Kamu sabar ya, coba lagi. Tidak mungkin kalau semua tidak bisa dihubungi. Lagi pula ibu yakin mereka pasti akan perduli dengan kepergian bunda kamu Nisa…” Bu Rahma, hanya dia yang setia menemani Annisa dan Ibundanya sewaktu hidup.
“Saya malu Bu, sungguh keterlaluan semua saudara saya ini. mereka tak pernah mengharap bunda untuk hidup dengan bahagia…”
“Sudahlah Annisa, manusia ini tak luput dari khilaf, kamu harus bisa mengerti itu nak. Mungkin dengan kejadian ini mereka akan segera sadar dari tidur kesalahan mereka…”
“Iya Bu, tapi sudah terlambat kalau mereka harus menyadari sekarang. Saya sungguh malu pada semua orang…”
Itu yang hanya dia rasakan setiap para pelayat mendatangi rumahnya dan mengucapkan turut berbela sungkawa. Mau bagaimana lagi, itulah sebuah kenyataan hidup yang dia alami sekarang. Delapan saudaranya menjadi anak yang durhaka. Bagaimana tidak, jika selama hidup Ibunda Annisa mereka hanya merong –rong hartanya. Rumah tinggal yang sekarang menjadi tempat terakhirnyapun dipaksa digadaikan.
“Kenapa kita tidak langsung kubur saja jenazahnya?!” Tanya paman Ridwan suami dari bu Rahmah dengan nada marahnya.
“Sudah mas, tunggu dulu. Anak –anaknya sudah dalam perjalanan sekarang.”
“Koq baru sekarang mereka dalam perjalanan kesini. Selama bertahun –tahun kemana saja?! Seharusnya kita langsung ikuti wasiat Mbak Umi, gak usah tunggu siapa –siapa lagi…”
“Mas kasihan mereka anak –anaknya yang ingin bertemu terakhir kalinya dengan ibunya…”
“Hah! Koq baru sekarang ingin bertemu? Giliran sudah mati tak bernyawa ingin bertemu!”
“Ya sudah lah Mas, terserah mereka saja. Annisa juga tak ingin disalahkan oleh delapan saudaranya yang lain…”
Siapa yang melayat tak lagi duhiraukannya lagi. Riungan para orang –orang itu hanya mengatakan bahwa Bunda punya anak durhaka semua. Betapa tidak menyayat hati Annisa yang terus duduk di samping jenazah Ibunda yang sudah terbungkus kain putih.
Tak dirasa sudah lama menunggu, tiba –tiba mata mereka beralih pada gerbang di halaman. Seorang lelaki paruh baya yang wajahnya sudah tak berupa lagi, lumuran darah menutupi wajah yang suram.
“Mana Ibu?” Tanya lelaki itu pada Bu Rahmah.
“Ada di dalam sini…” Sahut Bu Rahma dengan wajah yang miris.
Oh sungguh, Rizwan, dia adalah putra ke tiga yang merupakan putra yang paling durhaka diantara yang lain. Bagaimana tidak? Dialah yang terus merong –rong tempat tinggal bunda untuk segera di jual. Sikapnya yang sangat berubah setelah Bunda Umi menyekolahkan dia hingga dirninya kini menjadi seorang yang sukses, membuat Bunda Umi melaknatnya sebagai seroang anak yang durhaka. Menagis? Percuma saja, belum tentu juga Bunda bisa mendengar dan memaafkan tangisan yang dirasanya sudah terlambat. Tak sampai lima menit, ia keluar dari ruangan untuk segera di bawa ke klinik.
Sekejap berselang waktu, segerombolan orang datang. Arini, Aryana, Hilma, dan Sodik. Mereka sampai dengan wajah yang suram juga.
“Kakak sampai?” Annisa menyambut keempat –empatnya.
“Kami telat, mobil yang kami tumpangi mogok tiba –tiba. Kemudian kami berganti dengan mobil yang lain, mobil itu juga mogok. Kami harus berganti empat kali kendaraan hingga akhirnya kami naik bis hingga sampai disini…” Jelas Kakak pertama yang bernama Arini.
“Ya sudah, alhamdulillah kakak masih bisa sampai di sini segera…”
“Mana yang lain?” Tanya kakak ke keempat Hilma.
“Bang Rizwan di bawa ke klinik barusan. Dia habis kecelakaan barusan.”
“Masya’ALLAH…” Sebut mereka serempak.
Riungan para pelayat semakin menyaring. Apa yang mereka lihat adalah sebuah pelajaran untuk tidak bermain –main dengan orang tua.
“Mungkin Mbak Umi memang tidak rela dengan kehadiran anak –anaknya hingga semua harus mengalami celaka yang menunda pemakaman hingga berjam –jam.” Pikir seorang pelayat yang mengeluarkan unek –uneknya pada Bu Rahma.
“Sungguh tak mampu dipikiranku, mungkin mereka memang terlalu parah dengan ibunya hingga mereka menerima celaka yang bertubi –tubi.”
“Iya, bagaimana mungkin mereka bisa mendapati celaka yang tak wajar seperti itu, kalau bukan ALLAH yang tidak menghendaki itu…”
“Subhanallah… hanya itu yang bisa aku katakan. Sungguh kita tidak pernah tahu dedngan rahasia Ilahi…”
“Astaughfirullah hal adim, sungguh baru kali ini aku melihat kejadian miris seperti ini…”
Sahut menyahut riungan omongan para pelayat itu memang tak bisa disalahkan, itu semua adalah sebuah keanehan yang tak patut.
Kembali Rizwan putra ketiga yang celaka sudah ditangani medis.
“Aku tak bisa makan sekarang. Mulutku di jahit dengan duapuluh jahitan.” Katanya pada orang –orang yang menemaninya di rumah belakang.
“Ya sekarang kau harus banyak minum air es, kalau kau memang ingin sembuh.”
“Tentu saja, aku sungguh celaka. Lengan tanganku patah dan hancur kata dokter tadi.”
“Sudah aku bilang bekali kali pada kau, jangan pernah bawa motor sendiri kalau dalam keadaan yang kacau seperti ini. sekrang kau lihat sendiri kan …” Sahut Mirza putra kedua.
“Ah sudah! Sekarang aku sudah begini mau bagaimana lagi?!” Bentak lelaki yang sudah tak jelas dengan omongannya.
“Untung saja Adil anak kau tak kenapa –napa.”
“Ya, dia tak tergores sedikitpun.”
Mata melihat, mulut berbicara. Itu tak bisa dihentikan saat para orang –orang melihat kejadian –demi kejadian terlewati. Sungguh yang mereka pikirkan memang tak habis dipikir, dalam satu motor hanya satu orang saja yang celaka secelaka celakanya? Dan satu yang lain tidak terkilir sedikitpun? Subhanallah, memang ALLAH dan jenazahnya tak menghendaki untuk menerima kedatangan mereka.
Tinggallah dua putra dan purti yang tidak bisa hadir melihat sang Ibunda untuk terakhir kalinya. Mereka sedang ada di luar negeri untuk kehidupannya yang penuh tanggung jawab. Semoga saja mereka diampuni.
Setelah menanti kelengkapan kehadiran putra –purtinya. Jenazah itu segera di sholatkan dan dibawa untuk di makamkan.
*****
Mereka berkumpul bersama diruang tengah. Menunduk dan menagisi yang telah terjadi. Penyesalan menyelimuti ruangan itu.
“Sebenarnya Bunda berwasiat untuk segera dimakamkan tanpa menunggu siapapun…” Annisa menjelaskan pada keenam saudaranya.
“Kenapa kalian baru datang sekarang nak? Kenapa kalian seperti ini pada bunda kalian saat hidup dan diakhir hayatnya? Seumur hidup kalian akan merasakan apa yang namanya penyesalan…” Bu Rahmah menceramahi mereka yang masih dengan pikirannya sendiri.
“Ya sekarang yang salah siapa? Annisa tak pernah kasih tahu kabar ibunda. Ia hanya kasih tahu saat sekarat dan itu tengah malam. Tak mungkin tengah malam saya datang kan ? Dan hari ini dia kasih tahu saat ibunda sudah tidak ada…” Sahut Putri pertama yang masih dengan pemikirannya sendiri.
“Hey! Kamu tidak boleh berkata seperti itu! Kamu sadar? Yang kamu lakukan itu salah, kenapa baru sekrang kamu datang? Kenapa tidak dari kemarin saja, saat Ibunda kamu masih sehat –sehat saja? Bukannya menemui orang tua malah kamu merong –rong hartanya!”
Isak tangis Hilma menjadi. “Bunda, bunda, maafkan Hilma bunda…” Panggilnya hanya percuma saja.
“Sekarang kakak cuma bisa panggil –panggil saja. Percuma kak…”
“Kamu Rizwan! Sadar kamu?! Celaka yang kamu dapati adalah pembalasan sebagian dari dosa yang kamu perbuat pada ibunda kamu. Mulut kamu yang robek itu karena omongan kamu yang telah merobek hati ibunda kamu. Dan tangan kanan kamu yang hancur itu, itu karena kamu telah merampas apa yang harusnya memang menjadi milik ibunda kamu…”
Rizwan tertunduk, ia merenungi kata –kata kesal yang terlontar dari mulut Bu Rahma.
“Aku jamin kalian adalah manusia –manusia yang merugi, karena telah menyia –nyiakan hidup orang tua kalian. Kalian memang belum merasakan saat Ayah kalian yang meninggal dulu, karena Ayah memang tak berarti. Tapi ibu? Seorang ibu bisa lakukan apapun dengan hatinya. Seumur hidup kalian akan merasa menyesal! Dan itulah buah yang kalian petik dari tumbuhan yang kalian tanam sejak dulu…”
Dan kini, sungguh mereka telah menyadari apa yang salah dengan diri mereka masing –masing. Semua telah terlambat, hidup mereka memang hanya terhantui oleh perasaan menyesal yang selalu hadir di akhir sebuah kisah.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar