Nafas semakin berat disetiap hariku rasa. Tetesan air semakin menjatuhi bumi. Aku terus menatapi derasnya aliran air yang menumbuk bebetuan besar itu. Sungai yang bergemuruh seperti hatiku yang juga semakin menggemuruh disetiap hari. Sungguh besar kuasa Ilahi, untuk semua yang terjadi di kehidupan ini. Seperti halnya hatiku yang selalu bimbang dengan ketidak jelasan. Ya ALLAH jadikan aku bisa mengendalikan perasaan ini, Mama dan Ibrahim Imran adalah dua orang yang tidak ingin aku sakiti hatinya. Sementara aku belum mendapat kepastian untuk hubunganku dengan dirinya.
“Kembali kesini?” Tanya Aim yang tiba –tiba muncul mengejutkan aku yang sedang melayangkan lamunan. Ia duduk dan tersenyum padaku.
Aku menolehinya dan membalas senyumannya. Aku tak tahu harus menyahutinya apa. Jantung ku kembali berdentam seperti awal perjumpaan ku dengannya dulu. “Iya…”
“Ayo pulang, sebentar lagi gerimisnya pasti jadi hudan deras. Awannya saja sudah menudng tuh…”
“Aku ingin hujan –hujanan.”
“Jangan nanti masuk angin kamu. Besok masih masuk sekolah…”
“Cuma sekali saja bang…”
Aim tersenyum. Dipegannya tanganku yang menyentuh rerumputan di tanah. Kepalan tangannya begitu hangatkan tanganku yang tertusuk dinginnya hawa.
“Tanganmu dingin sekali. Sudah lama disini ya?” Ia menggosok –gosok tanganku.
“Baru setengah jam yang lalu…”
“Baru?! Itu sudah lama sekali Ami! Lihat hidung kamu saja sudah merah jambu begitu.”
Aku pencet –pencet hidungku. “Gak dingin –dingin amat koq…”
Aim tersenyum. “Ami…” Panggilnya tiba –tiba serius.
“Iya?”
“Satu hal yang menjadi do’a ku saat ini…”
“Apa?”
“Semoga tidak ada satu hukumpun yang melarang hubungan kita…”
Aku menarik tanganku seketika. “Jangan berdo’a seperti itu.”
“Kenapa? Kamu gak mau kita sama –sama?”
Aku terbangun dari dudukku. “Dua puluh tujuh juli tinggal beberapa bulan lagi, sampai jumpa…” Tandasku dan melangkah pergi.
Aim, kenapa kamu harus bilang begitu? Apa yang akan membuat kamu sadar kalau hubungan kita tidak akan mendapat restu dari sapapun? Ini hanya akan membuang –buang waktu. Tanggal dua puluh tujuh bulan juli dua ribu sepuluh hanyalah tinggal empat bulan lagi. Bisakah aku menemukan kejelasan di jalan lain? Delapan bulan saja lekas berlalunya, apa lagi sisa waktu yang hanya empat bulan ini. Dimana lagi aku akan mendapatkan jawaban pasti tentang hubungan kita ini dilarang?
Survey?! Apa perlu aku melakukan survey terhadap seratus orang dari berbagai kalangan mereka? Apakah bisa aku lakukan itu dalam jangka waktu yang semakin singkat ini? Well semoga aku bisa, tapi dari mana aku harus memulai? Pastinya aku harus memulai dari menulis pertanyaan dan options pilihan jawabannya. Lalu aku mengetik dengan rapi dan mencetaknya. Setelah dicetak aku tinggal copy rangkap seratus deh. Tapi kemana aku harus menebarkan seratus lembar angket ini ya?
“Dor!” Lagi, Dessy mengagetkan aku yang sedang berdiri dan berfikir.
“Wey! Ngagetin aja ah…”
“Napa kamu? Kamu akhir –akhir ini aneh tau…”
“Aneh? Yang ada kamu yang aneh…” Gurauku.
“Apa nih?” Dessy mengambil plastic berisi lembaran angket yang baru saya aku fotocopy.
“Angket…”
“Angket? Buat apa?” Ditarik selembar dari dalamnya. “Bagaimana bila anda menghadapi posisi yang seperti ini…” Suaranya melenyap, dahinya semakin mengernyit membaca tulisan di kertas itu. “Nih koq ceritanya ngaco? Inikan cerita kamu…”
“Itu gak ngaco, emang itu ceritaku. Aku bikin itu karena tugas.”
“Tugas? Tugas apa? Kapan? Guru sapa yang kasih tugas ngaco gini? Aneh ah!”
“Itu tugas dari pak Ibrahim Imran…”
“Aim? Ngapain?” Katanya semakin heran saja.
“Dia minta aku cari jawaban dari pertanyaan itu.”
“Aneh –aneh aja tuh anak.”
“Aku belum cerita emangnya soal keputusan aku sama dia?”
“Keputusan yang mana?”
Aku putuskan untuk menceritakan semua yang terjadi diantara aku dan Aim. Dia cukup terkejut mendengar perjanjian aneh antara kami berdua. Well dia juga merasa bersalah atas masa lalu itu.
“Aku gak tahu harus apa lagi sekarang. Yang aku butuhkan hanya menyebar angket ini dan kumpulkan semua jawaban.”
“Disebar di sini aja cepet kan ?”
“Heh! Mau disebar di sekolah?! Yang ada mereka semua bakalan ketawain aku. Pastinya mereka tahu kalau ini bukan tugas kan .”
“Ya udah sini separuh kasih aku. Nanti pulang sekolah aku coba kasih tetanggaku. Sehari dua hari aku balikin plus jawaban mereka deh…”
“Serius kamu?”
“Iya kamu tenang aja, aku ikhlas koq bantuin kamu…”
“Thanks ya sob…”
Lumayan lega sekarang, tinggal lima puluh lembar lagi dan aku akan menebarkan semuanya sendiri. Pasar, mall, kantoran, permukiman umum, dan sepuluh lembar khusus untuk pesantrenan.
“Mau kemana kamu?” Tanya kak Hani ketus melihat aku sudah bersiap dengan pakaian yang rapi.
“Aku mau kerumah Dessy…”
“Ngapain lagi?!”
“Tugas.”
“Jangan bohong kamu! Hamper setiap hari kamu pergi kerumah Dessy, kalau memang ada tugas, sekali –sekali kerja disini kenapa?! Atau jangan –jangan kamu masih berhubungan sama Ibrahim ya?” Tatapnya penuh curiga.
“Kakak, jangan sepicik begitu pikiran kakak sama aku. Aku sadar siapa Aim, dan aku gak mungkin nyolong ketemu sama dia. Kakak boleh curiga kalau Aim itu memang orang lain, tapi enggak dengan sekarang. Aku hanya ingin jalan –jalan dengan Dessy itu saja. Aku mau ke perpus umum!” Tegasku kemudian lekas meninggalkan kamar.
Separah itukah pemikiran kakakku? Aku gak mungkin nyolong buat ketemu khusus dengan Aim. Ya walau memang aku masih sering ketemu dengan dia. Tapi itu hanya sebentar saja, dan itu sungguh kebetulan. Aku sudah menghindari untuk bertemu dan calling dengan dia. Ah memang kecurigaan itu beralasan tapi Whatever! Aku gak perduli, yang harus aku lakukan sekarang hanyalah mengumpulkan suara atas pertanyaan diatas kertas seratus lembar ini.
“Nih udah selesai semuanya…” Dessy mengembalikan lembaran kertas itu padaku.
Aku ternganga. “Semua?”
Dessy mengangguk.
“Cepet banget? Kamu kasih kemana aja? Perasaan aku baru tadi pagi kasih sama kamu…”
“Haha, tadi pas pulang sekolah Andra ngajakin aku kerumah dia. Nih aja aku baru sampai. Terus kan naik bus tuh, ya udah kebetulan busnya penuh ya aku kasih mereka nih kertas. Dan well done semua kan …”
“Wew, hebat loh…”
“Dessy gitu loh…” Dessy menaik turunkan bahunya. “Sini sisanya kasih aku lagi. Tetanggaku belum dapet bagian. Nanti malam mau ada rapat desa buat agustusan. Aku mau bagiin disana.”
“Serius kamu?”
“Ya iyalah, kapan sih aku gak serius?”
“Tapi aku gak punya duit mau ganti capek mu…”
“Ami?! Koq gitu sih? Udah nih juga sebagai penebus dosa aku udah comblangin kamu sama Aim dulu…”
Ah dia sungguh teman terbaikku. Semua bisa lekas aku urus kembali berkat bantuannya. Sekarang tinggallah aku menghitung perolehan suara dan membaca semua alasan yang mereka kemukakan.
*****
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan akhirnya setahun telah berlalu. Tibalah sekarang tanggal dua puluh tujuh juli, tanggal yang telah dinanti –nantikan olehku dan dia. Aku telah siap dengan semua bahan yang akan aku utarakan padanya. Dengan langkah kaki yang aku pastikan tanpa keraguan lagi akhirnya aku sampai ditempat yang sudah kami berdua janjikan.
Lapangan hijau, sungai panjang nan deras, tetesan gerimis turut menemani kedatangannku. Di sana , di jauh sana , sudah tampak seorang Ibrahim Imran dengan jas hitam dan kemeja biru berdasi rapih telah menanti kedatanganku.
Walau ludah ku telan bulat –bulat, aku terus memastikan langkahku mendekat padanya. “Sungguh sulit menemukan jawaban yang pasti…” Aku langsung memulai pembicaraan kami.
“Lalu?”
“Aku rasa do’a mu terkabul. Tidak ada jalan yang memudahkan aku, lalu aku hanya bisa lakukan survey pada seratus orang…”
“Lalu?”
“Dua puluh lima persen mereka menjawab dilarang, dua lima persen lagi tidak tahu, dan lima puluh lainnya membolehkan itu…”
“Bagaimana sekarang?” Katanya tersenyum dengan harapannya.
“Jangan senang dulu, masih ada alasan yang mereka kemukakan untuk jadi pertimbangan kita…”
“Apa lagi?”
Aku ambil sebuah map dari tasku, aku berikan padanya. “Tujuh puluh lima persen mereka menganggab kurang baik dimata masyarakat. Dua puluh persen lagi mengatakan kita ini saudara, lima persen lainnya…”
Dibuka map itu, ia terdiam memandangi lembaran angket dihadapannya dengan penuh kekecewaan.
“Sekarang masih ingin bersama?”
“Ami?! Aku belum puas dengan ini semua. Ini belum membuatku pasti!”
“Apa lagi yang membuat tidak pasti? Ku kira sudah jelas semua. Hubungan seperti kita ini memang hanya akan menjadi bahan omongan orang…”
“Aku gak perduli…”
“Tapi aku perduli!” Aku membentak katanya yang tak selesai. “Sudahlah, perpisahan ini bukah akhir dari kehidupan. SMA saja aku belum lulus, aku ini masih muda, masih remaja. Perjalanan hidupku masih panjang, aku gak mau hidup dengan masalah percintaan yang tak jelas dan tak penting seperti ini…”
“Ami?! Mudah kamu bilang gitu sama aku? Kamu gak mikir gimana perasaan aku sekarang ha?! Omongan kamu itu udah nyiksa aku, kamu sadar kan aku ini cinta sama kamu?!”
“Semoga abang bisa menemukan yang jauh lebih baik dari aku…”
“Ami!” Bentaknya tak tahan lagi dengan sikapku. “Kamu sungguh keterlaluan. Bisa –bisanya kamu ngomong gitu sama aku! Kamu itu punya perasaan gak sih? Jangan buat aku gila Ami!”
Aku masih menahan emosiku yang terbakar kesedihan dan kekecewaan ini. Aku tak mungkin meledak di hadapannya. Aku tak boleh terlihat lemah, aku bisa walau tanpa dia. “Jangan terlarut dalam urusan cinta. Hidup abang juga masih panjang. Cinta itu gak cuma satu, cinta itu bisa saja menjerumuskan. Sudahlah, sudah cukup semua sudah selesai sekarang. Aku harap ini adalah akhir dari segalanya. Selamat tinggal…” Aku berbalik dan melangkah meninggalkan dia sendiri.
Tetesan gerimis menderas. Ah! akhirnya jatuh juga air mataku. Siapa yang tahu aku sedang menagis sekarang? Tetesan mataku bercampur dengan tetesan air langit ini.
Dinginnya hujan menusuk di hati, aku harus bertahan walau perpisahan ini menyayat hati. Rasa penyesalan pun turut menghantui hari –hariku. Sekarang hanyalah bagaimana aku harus melupakan dia. Melupakan sebuah perasaan yang aku berikan pada seorang yang salah.
Apa aku telah sungguh jatuh cinta pada Aim? Apa yang aku ketahui tentang yang namanya Cinta? Satu kata itu hanya akan menyakitkan aku. Kenapa harus dia yang menjadi seorang berharga dalam hidupku? Bisakah aku kan dia dan menemukan seorang yang lain?
*****
“Putus!” Itulah kata terakhir yang selalu aku lontarkan pada semua bekas pacarku yang aku pacari selama kurang dari seminggu, bahkan lima hari.
“Apa?!” Matanya mendelik. Namanya Donni, dia adalah pacarku yang ke lima bulan ini.
“Iya aku minta putus…”
“Ami kamu itu sadar kan ? Kita belum genap dua puluh empat jam jadian dan sekarang kamu langsung minta putus?”
“Sulit aku jelaskan sama kamu, kamu juga gak akan ngerti…”
“Iya tapi kenapa? Kenapa kita gak coba dulu Ami?”
“Cinta itu bukan untuk dicoba –coba Don, sorry aku tetap inginkan kita putus…” Aku bengkit dari dudukku disebelahnya dan pergi meninggalkan dia sendiri di kelas.
Kenapa aku ini? Donni itu tidak buruk, dia baik. Kenapa aku jadi seperti ini. Sudah berapa kali aku pacaran? Apa ini karena Aim? Lelaki itu memang belum sepenuhnya pergi dari hati dan pikiran ku, lalu kapan akan perginya?
Aku melayang menatap air mancur yang terus mengucur tinggi di tengah gazibu taman sekolahku. “Ibrahim…” Panggilku pelan.
“Masih Aim Mi?” Sahut Dessy yang menghampiri aku.
Aku tersenyum. “Wanna forget him but still…”
“Pacaran, jadi, putus kurang dari lima hari. Itu bukan cara melupakan Aim, yang ada kamu akan terus ingat dia…”
“Aku gak tau harus gimana lagi…”
“Jujur, walau udah putus kalian berdua masih kompak aja ya…”
Aku mengernyitkan dahiku. “Maksudnya?”
“Kamu sama Aim itu mengalami kasus yang sama…”
“Maksudnya?” Aku semakin tidak mengerti saja.
“Pacaran kurang dari seminggu udah langsung putus…”
“Aim juga?”
“Iya. Dia kan sering kerumah curhatin lukanya dia abis putus sama kamu.”
“Ah sudah! Aku gak mau ngomongin dia lagi. Yang ada aku tambah gila nanti.”
“Ya udah terserah kamu saja. Sebenarnya aku cuma mau kasih tahu kamu satu hal penting koq…”
“Apa?”
“Jangan buat cowok –cowok itu sakit hatinya karena satu kata ‘putus’ kamu itu. Kasihan mereka kecewa sama kamu…”
Aku hanya selalu menghela nafas panjangku. “Iya Des, mungkin aku harus menutup diri dari semua laki –laki sekrang. Ya setidaknya sampai aku menemukan seorang yang benar pas di hatiku.”
“Aku bisa mengerti itu…”
Sungguh Dessy sangat benar dengan katanya. Mereka hanyalah korban dari pelampiasan sakit hatiku yang tak berujung. Ya ALLAH! Kenapa hidup harus dengan cinta?! Aku dan hidupku dikacaukan oleh sebuah perasaan yang kita sebut cinta!
Aku melentangkan badanku yang nyaris rubuh kelelahan di atas tempat tidurku. Ku coba pejamkan mata, Ah! Selalu saja! Yang terbayang hanya wajah Aim tersenyum padaku. Kalau begini terus aku akan segera gila. Aku terjaga, ,dan memilih berkumpul bersama Ayah dan Mama di depan tivi.
Aku menggaruk –garuk rambutku yang semakin acak –acakan. “Punya apa Ma?”
“Tanya punya apa…” Sahut Ayah yang tak beralih dari channel beritanya.
“Ya maksudnya tuh…”
“Mama punya melinjo goring ada di dapur…” Sahut Mama yang selalu deengan senyumannya.
Tanpa babibu lagi aku menyeret sandal ku ke dapur. Tengojk sana tengok sini, dimana? Hem… mau makan melinjo saja kudu pusing cari sana sini. Ah! Disitu kau rupanya, pantas saja tak terlihat toplesnya ketutupan panic besar sih. Ku buka dank u ambil sekeping. HAiksh! Ini melinjo apa jamu? Pahit!
“Mana melinjonya Mi?” Teriak Ayah.
“Iya sebentar…” Sahutku membalas teriakan Ayah.
Melinjo, sepertinya ini symbol dari kehidupan. Hidup itu pahit! Ya walau tak semua pahit, manis, asam, asin bersatu padu itulah hidup. Well aku kembali ke depan tivi dedngan toples melinjo yang ku peluk sepenuh hati. Ku letakkan di atas meja dan aku duduk di lantai depan Mama.
“Memangnya jadi Ibrahim mau di bali?” Tanya Mama pada Ayah yang sedang mengobok –obok toples melinjo.
Aku tercekat. Aim ke bali? Ngapain?
“Ya jadi. Disana sudah ditunggu sama Armand an Vivi.”
“Ngapain Ma?” Tanyaku pelan seolah perduli.
“Kerja…”
“Kerja apa Ma?”
“Gak tahu, Ibrahim kerja apa Yah?”
“Suruh ngurus hotel katanya. Jadi assistan maneger mungkin…”
“Kapan Yah?” Aku menyipitkan mataku.
“Besok mau berangkat…”
Hah?! Bseok?! Aim koq gak bilang sama aku sih?!
“Besok naik bus Jakarta denpasar. Tiketnya tiga ratus, jam satu berangkat dari sini katanya…” Lanjut ayah tanpa perintah.
Jam satu? Apa besok pulang sekolah aku masih nutut ngejar dia? Jam sekolahku kan lewat lima belas menit dari jam satu. Pasti busnya sudah datang dan aku gak akan ketemu sama dia lagi. Ah! Aku gak bisa tidur kalau begini!
Aim! Aim! Aim! Tunggu aku jangan pergi dulu. Ah kursi ini sudah ku rasa panas dan semakin keras, ocehan pak Ihsan juga gak bisa aku cerna lagi. Oh jam, Oh bis, kalian harus tunggu aku sampai selesai dulu. Aim tunggu aku…
Kriiiingggg!!!!
Akhirnya bel bunyi juga. Aku segera menyelip dari barisan murid –murid yang keluar dengan tujuan berbeda. Ah sial! Angkot pada full semua, mau naik apa aku ini?!
“Donni!” Aku berteriak memanggil Donni yang kebetulan lewat di hadapanku.
Seketika donni menghentikan motornya. “Ami?! Eh aku antar pulang yuk?”
“Kebetulan, tolong antar aku ke tempat agen bus pariwisata ya?”
“Ngapain?”
“Udah antarin aja, aku ada urusan penting. Aku harus segera kesana…” Aku segera naik di boncengannya.
Swerr!! Kami langsung meluncur. Ya ALLAH izinkan aku bertemu dengan Aim untuk yang terakhir kalinya. Aim tunggu aku…
Motor terhenti, aku sampai dan segera turun. “Makasih ya Don…”
“Sama –sama, perlu aku tunggu?”
“Gak usah, aku pulang sendiri aja…”
“Okay, aku pulang…” Pamitnya dengan senyuman.
Donni pergi, dan aku temui para calon penumpang yang sedang menunggu bis dengan tas bawaan mereka yang besar –besar.
“Bis Jakarta denpasar sudah berangkat?” Tanyaku pada seorang petugas laki –laki.
“Wah sudah setengah jam yang lalu dek…” Katanya.
Ya ALLAH! Kenapa bisnya sudah berangkat? Aku sungguh ingin sekali bertemu dengan Aim sekrang, setidaknya untuk yang terakhir kalinya. Aku sungguh sayangi dia, aku hanya ingin katakan itu saja.
“Ami?” Seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menolehi panggilan itu. “Aim?!” Sahutku yang langsung tersenyum pada seorang lelaki dengan sebotol aim mineral di genggamannya. Aku bergerak cepat kearahnya dan kupeluk dia dengan erat.
“Ngapain kamu disini?” Tanya Aim yang berlagak marah.
Aku melepas pelukannku. Ku pukul dia. “Kenapa abang gak bilang mau pergi?!” Air mataku mulai mengucur.
Aim tersenyum, tangannya yang hangat mengusap pipiku yang basah. “Aku memang sengaja gak kasih tahu kamu…”
“Kenapa?! Mau bikin aku gila kehilangan abang?”
Aku kembali dipeluknya. “Aku gak mau bikin kamu sedih, tapi kalau justru bikin kamu gila, aku minta maaf ya?”
“Kalau saja abang bukan abang tiriku, pasti aku gak akan izinkan abang pergi…”
“Aku sayang sama kamu Mi. Dan aku akan selalu sayang sama kamu…”
“Aku juga sayang sama abang. Maafkan sikap aku selama ini…”
“Udah.” Aim melepas pelukannya. “Aku mengerti benar kenapa kamu sampai tega bersikap begitu sama aku. Kamu gak perlu minta maaf ya?”
Aku tersenyum.
“Bandung denpasar, lima menit lagi bisnya datang. Para calonpenumpang silakan bersiap…” Kabar seorang petugas.
“Aku mau berangkat, janga diri kamu baik –baik ya…” Katanya tersenyum.
“Abang…” Panggilku dengan derail air mata yang semakin menjadi.
“Sudah jangan menangis. Aku pergi cuma sebentar koq, lagi pula ini untuk masa depanku, seharusnya kamu support aku dong bukannya malah nangis bikin aku tambah berat jadinya…” Ia mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan mengusap air mataku.
Bis datang, Aim melepas tanganku dan turut pergi bersama bus itu. Aku hanya bisa mengusap air mataku denegan sapu tangan peninggalannya. Menarik nafas dan membuangnya denegan keras. Menahan air mata yang terus keluar membasahi mukaku.
Sekarang hidupku sudah benar –benar sepi tanpa kemunculan mau oun kabar dari Aim sebagai abang tiriku sekalipun. Setiap kali aku kerumahnya yang kulakukan hanya menatapi wajah adikku yang juga adiknya Adin. wajahnya sungguh mirip dengan Aimku. Membuat aku selalu ingat masalalu bersamanya.
“Adin! Kenapa kamu mirip sekali sama abngmu yang jellek itu ya…” Aku mengusap kepalanya.
“Ha? Abang yang mana kak?”
“Ah gak jadi…”
*****
Gak kerasa, udah dua tahun ternyata aku telah melewati hidup tanpa dia. Bagaimana Aim sekarang ya? Gemukan atau tambah kurus ya? Ah gak sabar ketemu dia lagi. Sungguh aku rindukan dia, setiap kali merayakan acara keluarga dia tidak pernah hadir. Hem!! Tapi malam ini aku dan semua keluargaku akan menyambut kedatangannya kembali dirumah Mami.
Hemm… aku dan kakakku membantu menyiapkan hidangan lezat yang harus berjejer rapi diatas meja. Dan semua siap.
“Mi, tas kak Emma ada di mobil, minta tolong ambilkan ya?” Pinta Kak Emma yang sedang menggedong anaknya padaku.
Aku hanya mengangguk dengan senyuman, dan aku lekas lakukan perintah.
“Ami…” Panggil seseorang dari luar mobilku.
Aku keluarkan kepalaku sedikit. “Aim…” Aku tersenyum. Aku terus keluar dengan tas kak Emma yang tertinggal.
“Hey, apa kabar…” Katanya malu –malu.
“Aku baik, abang sendiri gimana?”
“Aku juga baik. Kata Adin sekarang kamu udah kuliah semester empat ya?”
Aku tersenyum. “Iya, bentar lagi aku jadi bidan bang. Abang sendiri gimana? Gemukan sekarang, bettah di Bali?”
“Enak gak enak di sana…”
“Enaknya apa?”
“Enaknya, aku bisa menghasilkan di sana.”
“Gak enaknya?”
“Gak enaknya, disana aku gak bisa ketemu langsung sama kamu. Cuma mandangi selembar fotomu yang selalu aku bawa kemana –mana.” Rayunya dengan senyuman maut andalannya.
Aku tersenyum tersipu sungguh malu. Aku sungguh tersanjung dengan gombalannya.
“Gimana kamu gak ada aku?”
“Gak gimana –gimana. Biasa aja…” Jawabku menggodanya.
“Heh! Memangnya kamu ini gak kangen apa sama abang mu ini ha?!”
“Aku hanya kangen sama seorang yang udah kasih aku ini…” Aku tunjukkan selembar sapu tangan coklat yang dia berikan dua tahun yang lalu sebelum keberangkatannya dulu.
Giliran Aim yang tersenyum malu. “Ami, Ami…” Katanya. Kedua tangan Aim melebar hendak memelukku.
“Eits…” Aku tarik badanku kebelakang.
Seketika gerak tangannya tercekat. “Kenapa?”
“Gak enak kalau ada yang lihat…” Aku tersenym lucu melihat ekspresi wajahnya. “Aku mau masuk…”
“Ya udah ayo…”
Kami berdua saling senyum –senyum sendiri. Baru beberapa langkah dari mobilku, seorang perempuan yang kurasa setahun dua tahun lebih muda dariku datang menghampiri kami. Penampilannya cukup membuatku Wew! Sepertinya dia bukan dari golongan anak –anak pendiam. Alias kelewat gaul, seksi gituloh…!
“Ah disini ternyata kalian. Ayo masuk, tante udah tunggu kalian…” Katanya dengan gaya yang rada centil ku dengar.
“Siapa dia?” Tanyaku dengan kedua alis terangkat.
“Ah ternyata kakak belum kenal aku. Kenalin aku Inez…” Dia menjulurkan tangannya padaku.
“Anaknya Om Arman, dan tante Viviana…” Jelas Aim.
Aku hanya menyalaminya dan kembali masuk dalam rumah. Duduk bersama di meja makan, Aim duduk tepat dihadapanku sedang perempuan yang bernama Inez itu justru duduk tepat di sampingnya. Iri? Ya aku memang Iri pada perempuan itu!
“Sebelum makan malam di mulai, Mama mau minta tolong pada anak –anak semua. Bulan depan Ibrahim akan bertunangan dengan Inez…” Kabar Mami dengan senyum bahagianya.
Aku tersambar petir! Apa –apaan ini?! Kenapa ini yang aku dapati? Aku pandangi wajah lelaki yang duduk tepat di sebrang sana. Tak sedikitpun ia mengangkat wajahnya mengahdapku. Matanya tak mengatakan satupun pembelaan. Kenapa kamu gak bilang sama aku? Kenapa justru kamu menyapaku dengan semua gombal mautmu yang selalu membuat aku tersanjung dan melayang tinggi?!
Aku telan ludahku bulat –bulat. Ku tahan air yang semakin menggenangi mataku. Jantunku berdegug kencang, dadaku rasanya sulit bernafas lagi. Aku tahan rasa sakit ini demi Ayahku dan kakak –kakakku. Semua hambar kurasa, aku ingin segera pergi dari sini!
Lagi, aku tak bisa tidur memikirkan dia. Memeluk guling, mengusap air mata, menatap bulan sabit di jendela. Entah apa yang dipikirkannya, hingga ia tega membuat aku seperti ini. Aku tak bisa menerima ini semua begitu saja. Aku tak seperti Mama yang rela berbagi Ayah dengan wanita lain. Hanya orang terpilih yang bisa lakukan itu, dan itu bukan aku.
Aku bergegas siapkan diri untuk menemui Aim segera. Di tempat biasa, pinggiran sungai yang selalu menjadi saksi kisah cintaku yang tersembunyi.
“Sengaja bikin kejutan seperti ini buat aku?!” Bentakku pada lelaki yang berkacamata di hadapanku ini.
“Ami, jangan berkata seperti itu sama aku…”
“Lalu aku harus berkata apa ha? Selama ini kamu itu selalu melontarkan kata –kata manis, sapaan yang lembut, rayuan, gombalan. Semua hal yang manis yang bikin aku tersanjung. Dan sekarang aku justru menemukan hal yang paling menyakitkan tahu itu!”
“Aku juga gak mau seperti ini Ami…” Masih saja Aim dengan elakannya dan wajah memelas.
“Ha? Gak mau?! Kalau kamu gak mau, ini semua gak akan pernah terjadi! Udah jangan bohong aku tahu koq kau itu…” Tanganku menyingkap kepala. “Ah sudah aku ingin ini benar yang terakhir…” Aku mengusap wajahku, dan lekas pergi dari hadapannya.
Aku sungguh tak tahan berlama –lama dengan lelaki itu lagi. Kemarin aku selalu termakan omongan rayuan gombalan manisnya. Aku pastikan sekarang tidak akan ada lagi rayuannya yang mempan dipikiranku. Ini yang terakhir kalinya untuk semua jebakan raut wajah memelasnya. Semua harus berakhir! Aku muak!
Aku kembali dalam mobil Honda jazz hitam milik ku. Seratus kilo meter per jam, mungkin kecepatan itu sesuai dengan suasana hatiku saat ini. Kepalaku mulai tak kuat aku bebankan di atas. Kalau saja bisa, aku ingin menitipkan sejenak di penitipan khusus kepala berat.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar