putuskan habiskan kekecewaanku disini. Tak baik juga aku berlarut pada ini semua. Apa kata dunia nanti?!
Berjalan di atas pasir pantai yang menyisakan pijakan kakiku. Seperti halnya luka yang aku rasakan saat ini. Akan membekas, tapi akan terhapus oleh deburan air laut yang pasang, dan badai tepi pantai. Semua pasti bisa kembali seperti semula, perlahan tapi pasti.
Siapa lagi yang akan menyemangati aku selain diriku sendiri. Tidak akan pernah ada yang mengerti perasaanku saat ini. Tengok kanan tengok kiri, ternyata aku telah berada di tempat yang sangat sepi. Astaga! Aku baru sadar, aku berjalan sudah sangat jauh dari tempat parkir mobilku. Lalu dimana aku sekarang? Disana aku melihat ada sebuah warung dengan tumpukan kelapa hjau yang sangat banyak, dan seorang perempuan yang duduk sendiri di bangku kayu panjang.
“Permisi?” Sapaku pada seorang perempuan paruh baya itu. Sungguh mengherankan, perempuan itu tidak melihat dan menyahutiku bahkan ia tak meresponku dengan ekspresi wajah apapun. “Ibu?” Aku menggerakkan tanganku di depan pandangannya, namun masih tetap dia tak perdulikan itu. Ada apa dengan ibu ini? Aku coba menepuk punggungnya, dan perempuan itu baru mengahadapku.
“Mas, ini sudah datang…” Katanya masih tanpa rupa apapun.
Aku melangkah mundur dari hadapannya. Masya’ALLAH! Sepertinya aku telah salah tempat. Satu demi satu, tiga orang pria suram dengan tubuh yang penuh gambar dan hanya menggunakan celana pendek sependek –pendeknya muncul dari dalam pintu warung yang gelap itu. Ah tak lupa seorang di antara mereka dengan botol miras yang entah apa merknya. Ya ALLAH ya Robbi, aku memohon perlindunganmu…
Aku mengerti benar siapa mereka. Jantungku mau copot rasanya, gemetar, berkeringat bercampur takut yang merajai otakku sekarang. Apa yang harus aku lakukan? Sementara mereka terus mendekat dengan tawa senyum yang dipenuhi setan di otak mereka. Satu, dua, dan Tiga! Segera aku melangkahkan jurus kaki seribu. Lari! Lari! Lari! Dan mereka terus mengejarku. Astaughfirullah haladadim! Ya ALLAH selamatkanlah aku. Aku mulai lelah dengan kakiku, gerak semakin melambat, jangan sampai mereka berhasil menangkapku ya ALLAH…
Oh tidak! Seorang lelaki dengan jaket kulit hitam berada di depanku.
“Tollooooongg…!!” Aku berteriak padanya.
Lelaki itu mengeluarkan sebuh pistol dari balik jaketnya. Entah apa lagi, aku pejamkan mataku, aku sungguh takut dan lelah. Rasanya aku telah terjatuh di tangan seseorang, seperti dipeluk dengan erat. Apa kau telah aman? Perlahan aku buka sebelah mataku, melihat tiga preman itu terhenti karena pistol yang menuju arah mereka aku lekas membuka kedua mataku lebar.
“Pergi atau Mati?” Katanya dengan santai.
“Ayo kalau berani…!” Sahut seorang yang berambut gondrong.
“Okay…” Sahut lelaki itu membenarkan kuda –kudanya. “Dalam hitungan ketiga, lari…” Katanya berbisik padaku. “Satu, dua, tiga!”
Seketika juga aku dan lelaki itu berlari sekencang mungkin. Dan masih mereka mengejar kami.
“Kita mau kemana?” Tanyaku yang berlari terbirit –birit.
“Kemana aja asal bisa selamatkan diri dari mereka.” Jawabnya yang tak melepaskan gandengan tangannnya sedetikpun.
“Kamu bukan polisi ya?”
“Ya bukanlah, aku orang biasa…”
“Terus pistol tadi?”
“Itu cuma korek biasa. Udah jangan tanya lagi, kita harus sembunyi sekarang!”
Lelah berlari, kami bedua memutuskan bersembunyi di bawah truk box yang lumayan besar. Menyelip dan memperhatikan seksama langkah tiga pasang kaki yang tak beralas itu. Mereka masih berada tepat di samping truk kuning ini.
Tak lama bersembunyi, aku mendengar suara sirine polisi yang semkin mendekat. Entah ada urusan apa, aku melihat tiga pasang kaki itu lekas lari terbirit –birit menggantikan kami. Kami selamat, mereka benar pergi ketakutan dengan sirine yang cuma lewat jalan raya saja.
Aku mengibaskan pakaianku yang kotor berpasir. “Makasih sudah tolong aku, gak tau gimana jadinya aku kalau tadi…”
“Udah sama –sama. Udah wajib nolong orang koq…” Katanya yang juga membersihkan jaketnya. “Kamu gak papa kan ?”
“Alhamdulillah aku gak papa. Cuma lelah aja abis lari…” Aku tersenyum. “Ya aku pamit dulu…”
“Iya hati –hati…”
Sekali lagi aku tebarkan senyuman manis khasku kemudian berbalik dengan selangkah kaki. Tunggu! Aku terhenti. Dimana aku parkir mobilku ya? Ah sial! Aku baru ingat, mobilku tambah jauh lagi dari sini. Tadi tempatku agak sepi, terus di kejar tambah sepi, eh sekarang tempat wisata. Udah capek berlari, aku masih harus jalan balik rute yang tadi?!
“Ada yang bisa dibantu?” Lelaki itu kembali menghampiri aku yang sedang sial ini.
“Aku, ah gak ada…” Elakku yang gugup.
“Bawa mobil?”
Aku tersenyum nyengir.
“Dimana?”
“He…” Aku melebarkan gigiku. “Itu dia, aku baru ingat mobilku ada di jauh sana…” Ah aku sungguh malu padanya.
“Kalau kamu mau, aku antar naik mobilku. Aku antar sampai mobilmu saja. Jamin selamat gak pakai di kejar preman lagi…” Katanya tersenyum.
“Terimakasih, terimakasih sekali…”
Aku sungguh beruntung bertemu dengan orang muda, tampan ya memang tak terlalu tampan sih, yang penting baik seperti dia. Apa mungkin kalau Aim yang ada disini dia yang akan menolongku seperti lelaki ini? Ah! Buat apa aku juga aku memikirkan dia, sudah tahu tukang bikin sakit hati. Ngapain lagi aku harus mikirkan dia?!
Kenapa aku tak tanya namanya ya? Aneh, kenapa dia bisa tolong aku seperti itu? Mustahil rasanya, yang tadi itu tempat sepi ngapain coba dia di situ sendirian? Hem entahlah…
*****
Aku menyeret kakiku yang berat masuk rumah.
“Ami? Jalan yang bener ah…” Suruh Kak Emma yang duduk dengan selembar bulletin di sofa depan tivi.
“Gak kuat aku kak mau angkat kaki…” Aku duduk di sebelahnya.
“Dari mana kamu?”
“Aku abis di kejar orang jahat…” Aku melentangkan badanku di sofa.
“Orang jahat gimana maksud kamu?!”
“Gak penting, ceritanya panjang. Yang penting aku selamat, dan kakiku cuapek abis kak…” Aku bernafas sejenak. “Baca apa kak?”
“Bulletin…”
“Iya tahu bulletin, tentang apa gitu…”
“Bulettin Ayah dapat dari pengajian…”
“Iya. Tentang?”
“Hukum anak dengan anak tiri…”
Aku beranjank duduk. “Maksudnya?”
“Ah tanya terus kamu, nih baca aja sendiri.” Kak Emma menutup lembaran bulletin itu dan melemparkannya padaku. Ia pun pergi ke dapur.
‘Anak tiri telah menjadi anak sendiri… orang tua menjadi suami/istri maka anak keduanya adalah saudara dan haram hukumnya bila dipasangkan…’
Aku ternganga membaca penggalan uraian dalam bulletin itu. Sungguh aku tak menyangka hubungan kami adalah haram. Ya ALLAH, ampunilah kesalahan hamba yang belum hamba ketahui kemarin. Sekarang aku telah mengetahui semuanya, dan aku sungguh berjanji untuk tidak melangkahi hukum ini.
Aku sakit mengetahui ini semua. Akhirnya setelah bertahun –tahun mencari, aku menemukan sebuah kepastian yang sangat membuat hatiku lega, walau perih. Aim, mau gak mau kamu kita harus bisa terima ini semua.
Aku, Ayah, Mama, dan kakakku dengan dua orang anaknya sedang menikmati makan malam bersama di meja makan. Seperti biasa, kami selalu membicarakan tanggung jawab mantan suami Kak Emma yang selama lima tahun tak pernah memperdulikan kedua anaknya yang lucu –lucu. Milie, dan Aretha. Mereka keponakanku yang malang nasibnya.
“Setelah Mama, merasakan semua yang sudah terjadi pada kamu dan keluargamu, Mama jadi teringat saat Mama meminta petunjuk pada ALLAH. Disitu Mama mendapati firasat untuk tidak menikahkan kamu dengan lelaki itu.”
“Menyesal? Pasti itu ada, tapi mau gimana lagi…” Sambung Ayah.
Sembari Kak Emma menyuapi kedua anaknya. “Kalau sudah salah di jalan ALLAH, pasti tidak akan ada ketenangan.”
“Itu benar, kalau ALLAH sudah mengatakan tidak ya pasti tidak akan ada kata iya lagi…”
Aku tak bisa menyambungkan kata –kata mereka semua dengan kejadian dalam hidupku. Apa mungkin maksudnya, seperti halal haram? Ya pastinya.
Lalu? Sehari, dua hari, tiga hari, dialog Ayah, Mama dan Kak Emma masih terngiang di telingaku. Maksudnya kalau aku menyalahi untuk tetap berhubungan dengan Aim, apakah akan berakhir dengan tidak baik? Entahlah…
Lelaki berjaket hitam. Kenapa aku teringat dengan orang itu ya? Kalau aku cari dia di tempat waktu itu apa bisa ketemu? Semoga saja, biar aku coba cari orang itu.
Aku perkirkan tepat mobilku di tengah keramaian parkir wisata. Aku gak mau harus bertemu dengan penjahat koloran itu lagi. Aku ingat kemarin itu dia naik mobil Nissan terano warna hitam pastinya. Aku urut semua mobil yang parkir disini.
“Ada yang bisa saya bantu mbak…” Sapa seorang petugas satpam padaku. Barang kali dia suriga dengan gelagatku.
“Ah tidak pak, saya hanya mencari mobil teman saya. Nissan terano warnanya hitam.”
“Nomor polisinya berapa?”
“Ah, saya gak tahu pak…”
“Di tunggu saja, disini yang punya mobil Nissan terano banyak sekali…”
Iya juga sih. “Makasih pak…”
Petugas itu kembali, sementara aku masih bingung sendiri. Mungkin gak dia ada disini ya? Ya ALLAH, izinkan aku bertemu dia dan mengenal dia sedikit saja hari ini. Amin!
Aku mondar –mandir sendiri kebingungan di depan mobilku yang sedang parkir. Gak perduli walau sejuta pasang mata melihat tingkah anehku ini.
“Permisi ada yang bisa saya bantu?” Tanya seorang lelaki dari arah belakangku.
Aku hentikan langkahku yang seperti setrika baju. “Sudah saya bilang saya cari pemilik Nissan terr…” Aku terhenti saat berbalik melihat dihadapanku sudah ada si jaket hitam.
“Terrano??” Lanjutnya tersenyum padaku.
Ah sial aku malu! “A, a-aku…” Aku tergagap. Matilah aku!
“Cari aku atau pemilik terano yang lainnya?”
Aku hanya tersenyum malu padanya. Masya’ALLAH, apes atau apa nih aku? Benner doaku mungkin terkabul tapi ya gak gini juga kale ketemunya. Disangkanya aku ngarep seribu persen sama dia itu.
“Gak usah malu begitu. Kenalkan aku Farish…” Katanya menjulurkan tangannya padakau.
“Aku…” Aku menyalaminya.
“Amita kan…?!” Tebakannya sungguh jitu.
“Koq tahu?”
“Aku tahu kamu, tapi kamu gak tahu aku…”
“Tahu dari mana?”
“Gak penting lah. Sekarang kita duduk yuk…”
“Boleh…” Aku menerima tawarannya.
Aku duduk di bawah naungan pohon kelapa yang berayun ditiup angin laut. Menikmati air kelapa, ah jadi ingat saat bertemu dengan dia pertama kalinya.
“Kenapa koq dipandangi terus kelapanya?”
Aku terjaga dari lamunanku. “Cuma ingat saja sama kejadian waktu itu…”
“Kejadian gimana?”
“Waktu kamu tolongin aku waktu itu. Kan awalnya aku lihat tumpukan kelapa hijau gini di warung setan itu.”
“Koq gitu sih…”
“Maaf aja kalau kamu gak suka dengernya. Tapi sumpah aku trauma banget sama kejadian waktu itu. Kalau bukan setan temen mereka apa dong? Sampai ngejarin aku, hah sumpah dah…”
Farish tersenyum melihat ekspresiku yang sangat kesal.
“Kenapa?”
Ia menggeleng. “Enggak. Lucu aja…”
“Eh tau gak, aku kira tuh pistol kamu beneran. Eh gak taunya cuma korek…”
“Sebenernya aku juga takut. Bukannya mereka takut, malah nantangin.”
Gak nyangka kebersamaan kami yang baru sejenak itu sudah memunculkan tawa canda yang seru. Belum pernah aku tertawa lepas seperti ini. Aim, maafkan aku…
“Kenapa?” Heran Faris yang melihat rupaku berubah sedih seketika.
“Ah aku gak papa…”
“Bukannya aku mau tahu urusan kamu. Tapi kalau kamu perlu berbagi silahkan aja…”
“Makasih, masalah gak penting koq…”
“Masalah? Kalau boleh tahu tentang apa?”
“Gak penting koq…”
“Well, moga aja memang hal gak penting. Setidaknya gak seperti temanku yang punya masalah super aneh buat aku…”
“Masalah aneh? Seperti apa?”
“Ya nih aku ceritain sama kamu…”
Panjang lebar Faris menceritakan kisah temannya. Ternyata gak jauh beda dengan yang aku alami sekarang. Bedanya hanya anak ayah dan anak ibu tiri menikah, dan sekarang yang jadi masalah adalah urusan rumah tangga yang bikin mau cerai. Dan orang tua mereka juga ikut –ikutan masalah anaknya, jadi keluarga yang awalnya harmonis mau hancur juga ngikutin masalah anaknya?! Masya’ALLAH, aneh –aneh aja. Tapi itu semua apa juga berhubungan dengan haramnya hubungan mereka yang mengharuskan keduanya tidak bersama? Apa itu adalah teguran bagi mereka karena ALLAH tidak mengizinkan?
“Kamu, kamu, kamu…”
“Apa?”
“Kamu tahu hubungan mereka itu dilarang?”
“Ya tentu aja Ami. Aku pikir semua orang pasti tahu dengan itu. Bayangkan aja, aku pikir rasanya kita sama aja udah jatuh cinta sama saudara sendiri. Iya gak?”
Aku tersenyum. “Iya, itu adalah suatu kesalahan besar. Sekarang aku mulai bisa menerima semuanya…”
“Menerima apa?”
“Ah nggak…” Elakku. Aku merasa tenang sekarang, ini pertama kalinya aku merasa setenang ini saat aku sedang menghadapi masalah yang sama. “Faris…”
“Iya…”
“Aku suka sama kamu…”
Faris yang sedang minum air kelapanya tersedak.
“Jangan ge-er.”
“Ah bukannya ge-er, tapi kenapa kamu koq bilang gitu?”
“Aku suka punya teman baik seperti kamu. Makasih atas semua budi baik kamu tolong aku…”
“Kamu jangan gitu…”
Aku tengok jam tanganku. “Udah dulu ya, udah siang aku mau pulang…”
“Ya udah, hati –hati ya…”
Aku meningalkan dia, kembali pulang kerumah.
*****
Aku buka laptopku, connect to internet, seperti biasa facebook jadi alasan pertama kenapa aku main internet. Wah ada satu permintaan teman teranyata. Siapa ya? Klik! ‘Farish Rawahi’. Ah ternyata dia udah nemuin aku langsung di fb.
“Ami…!” Teriak Mama dari luar memanggilku.
“Iya…” Sahutku juga membalas teriakannya.
Segera aku disconnect, dan temui Mama di luar.
“Ada apa Ma?” Aku temui Mama yang sedang mengelap meja dapur.
“Kamu disuruh Ayah antarkan pastel ke sana …”
“Pastel mana ma?” Aku tolehi semua keadaan.
Mama beralih pada sebuah dus kue yang ada di atas kulkas. “Udah ini bawa saja, hati hati…”
Sesuai perintah aku langsung antarkan kue pastel kerumah Mami tiriku tersayang. Ah malas aku! Semoga aja nanti aku gak bertemu Aim lagi, kalau tidak pasti lain urusan jadinya.
Wez, wiz, wuz…! Delivery sampai…
Langsung aja, sesuai yang aku takutkan. Mami lagi keluar sementara yang ada di hadapanku Aim.
Aku memberikan kotak pastel padanya. “Ini dari Mamaku. Udah makasih…” Aku cepat berbalik.
“Ami tunggu napa ah!” Aim menarik tanganku.
“Apa lagi? Aku cuma disuruh antar itu gak ada yang lain.”
“Kamu gak mau ketemu sama aku?”
“Gak! Kita itu gak perlu ketemu selain acara keluarga. Udah ah!” Aku buang tangannya.
“Ami kamu koq gitu sekarang sama aku?”
“Seharusnya aku udah begini sama kamu dari dulu bukan baru sekarang! Kamu itu cuma abang aku dan gak akan pernah lebih dari itu. Udah ah! Ini yang terakhir kalinya aku lihat kamu begini sama aku!”
“Tapi Ami?!”
“Apa lagi?! Udah, udah, dan Udah! Kebanyakan bilang udah aku!” Aku segera pergi dari hadapannya. Aku gak mau dia tahan –tahan aku lagi.
Semakin hari aku semakin enggan bertemu dengan dia. Memangnya kenapa? Apa aku hanya kesal saja sama dia ya, karena hari pertunangan dia semakin dekat ya? Sudahlah aku gak tahu harus gimana sekarang.
Aku kembali pulang dan kembali melanjutkan facebookku. Wah! Ada satu pesan, wah dari Farish ternyata.
‘Makasih udah di confirm, salam kenal ya…’ Pesannya.
Ah anak itu seperti yang baru kenal saja dengan aku.
‘Siapa ya gak kenal tuh…” Aku membalas pesannya.
Baru beberapa detik setelah mengKlik tombol kirim, eh dia udah nongol via chat sama aku.
‘Hey..’ Sapanya duluan.
‘Hey juga, salam kenal?’
‘hehe, iya’
‘apa kabar nih?’
‘Baik, kamu?’
‘alhamdulillah aku baik sekali.’
‘malam ini ada kegiatan?’
‘mau ajak aku keluar ya’
‘kalau kamu mau n bisa tentunya’
‘okelah mumpung aku lagi malas juga dirumah. Kesepian’
‘terus?’
‘nabrak!’
‘maksudnya kita ketemunya gimana?’
‘aku tunggu kamu di…’
‘dimana?’
‘tahu rumahku?’
‘nggak.dimana?’
‘aku tunggu di ujung perempat jalan dekat kantor polisi ya?’
‘tapi aku gak mau di penjara ya..’
‘ha! Lucu. Ya gak lah. Jam tujuh tepat tunggu aku ya gak pake tellat… awas!’
‘okay!’
Gagang pintuku berputar dan terbuka.
“Ami!” Bentak Kak Emma yang muncul dari baliknya.
Aku langsung menoleh dan tersenyum padanya. “Apa kak?”
“Apa, Apa kamu ini! Dari tadi dipanggilin nyahut rah! Dikirain tidur, eh dak taunya malah senyum senyum sendiri!” Ocehnya memarahi aku.
“Ye maap, aku gak dengar kakak…”
“Gak denger orang dari tadi yang tereak! Udah di panggil Ayah tuh!” kabarnya.
Aku langsung lipat kembali laptopku dan pergi menemui Ayah yang seddang duduk dengan secangkir kopinya di meja makan seperti biasa.
“Ayah panggil aku?” Aku berdiri dihapan Ayah yang meneguk kopinya.
“Adin mau ulangan besok, katanya mau belajar sama kamu sebentar lagi.”
Aduh, belajarnya sampai kapan? Aku kan udah punya janji sama Farish. “Dimana Ayah?”
“Terserah kamu saja, kalau di sini biar Ibrahim saja yang antar. Ya kalau mau kesana terserah kamu dah…”
“Biar Ami yang kesana saja Ayah…”
Aduh memang ada –ada saja kalau jadi guru dadakan seperti aku. Giliran ada pr, ulangan, ujian semester, aku yang harus urus tuh anak. Mana Mami sama dua abangnya tuh?! Gak guna ah!
Tok tok tok! Aku ketuk pintu rumah Aim dengan keras.
Akhirnya pintunya segera di buka, dan lagi Aim yang bukakan untukku.
“Adin mana?!” Ketusku.
“Baru datang bukannya salam malah langsung tanya Adin.”
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh! Udah!”
“Waalaikum salam. Masuk, Adin ada di dalam…”
Ah sungguh sial aku! Masa aku harus ngajari bocah kelas enam SD berdua sama Aim! Resah dan gelisah, kapan pengajaran ini akan berakhir? Sesekali aku liaht jam tanganku yang tak segera menunjukkan jam tujuh.
“Kamu itu kenapa sih dari tadi aku lihat cuma jam terus yang ditengokin?!”
“Terserah aku lah…”
“Kamu itu kenapa sih Mi? Ditanya baik malah jawabnya ketus. Apa yang bikin kamu berubah ha?”
“Kamu tanya yang bikin aku berubah gini apa?! Masih tanya ha?!”
“Kalau pertunangan yang kamu maksud, okay aku minta maaf! Tapi gak gini juga kamu harus bersikap sama aku kan ?”
“Udah percuma aku bersikap gini gitu lagi sama kau, gak ngaruh sama hubungan kita.”
Gak sadar aku dan Aim malah cekcok di depan Adin yang sedang belajar.
“Abang sama kakak ini kenapa sih koq bertengkar?” Sela Adin yang menggaruk –garuk kepalanya kebigungan.
“Adin, kakak minta maaf kakak harus pergi ada janji penting. Harus tepat waktu…” Aku cangklongkan tasku dan berjalan keluar.
“Ami! Mau kemana kamu?!” Aim terus mengikuti aku hingga aku berada tepat di samping mobilku.
“Aku bilang aku ada janji!”
“Janji sama siapa?! Jangan menghindar begitu kamu!”
“Siapa juga yang ngindar? Yang ada aku benci ada di hadapan kamu!” Aku lekas masuk ke mobil dan swing pergi.
Ah ini sudah jam tujuh lewat lima belas. Bukannya aku yang harusnya datang lebih dulu malah Farish yang aku buat menunggu.
*****
“Farish!” Aku menyapa seorang lelaki yang sedang bersandar pada dinding toko menanti kedatanganku.
Farish menoleh kearahku. “Ami akhirnya kamu datang juga…” Katanya tanpa rupa yang marah padaku.
“Ampun Farish, bukannya aku yang tunggu kamu malah aku yang bikin kamu tunggu aku lama…”
“Gak usah segitunya, baru dua puluh menitan lah…”
“Dua puluh menit kamu bilang baru? Kamu itu terlalu baik Farish…”
“Ah udah, jangan dibahas lagi. Kita jalan yuk…”
“Kemana?”
“Mau bakso?”
“Boleh…” Aku setuju saja dengan dia. Kebetulan sekali perutku lapar setelah hamper tiga jam berhadapan dengan Aim tadi.
Tempat makan penuh kenangan. Kenapa harus bakso di ujung jalan yang jadi tempat kami sekarang? Aku jadi ingat saat Aim selalu bayarin baksoku dulu. Saat aku dan dia tertawa lepas, dan saat terakhir aku mengetahui siapa dia sebenarnya. ‘Teflon? Telfon!’ Aim, andai saja kamu bukan anak Mami, aku pasti akan bilang sama Ayah dan Mama.
“Wey!” Faris menggertak aku yang sedang melayang.
“Ah! Apa?” Aku terbangun.
“Kamu kenapa? Seperti mikirin sesuatu?”
Aku tersenyum. “Jujur aja, ini tempat aku suka nongkrong dulu pas SMa…”
“Oh ya?”
“Iya, pulang sekolah, sore hari dating malam sama Aim…”
“Aim?”
Aku keceplosan. “Namanya Ibrahim, dia abang tiriku…” Sekalian aku jelaskan saja.
“Gak pacaran kan sama dia?”
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Kenapa dia bisa berkata seperti itu? “Maksud kamu?”
“Ah maaf, aku hanya teringat saja pada teman ku yang pernah aku ceritakan sama kamu waktu itu. Yaa jangan sampai lah seperti itu…”
“Kamu bener, seseorang bisa linglung hanya karena satu kata ‘Cinta’ sebenarnya gak ada seorangpun yang tahu apa itu cinta, iya tidak?”
“Iya, mereka yang tidak mengerti makna cinta sesungguhnya justru terjerumus dalam lubang yang salah. Seperti halnya mereka yang selalu mengatakan kata suka, sayang, cinta diawal tapi akhirnya? Mereka justru saling bertunjuk tangan.”
Aku tersenyum. Apa aku seperti itu? “Aku rasa, aku termasuk dalam yang kamu katakan barusan Rish…”
Farish mengernyitkan alisnya.
“Ya aku seperti yang kamu bilang. Aku gak mengerti cinta dan akhirnya aku terjerumus dalam lubang yang salah. Awalnya bilang suka, tapi akhirnya aku menunjuk orang lain….”
“Aku masih gak ngerti maksud kamu Ami.”
“Aku selalu tertarik dengan bahasan kita tentang kasus teman kamu. Kamu tahu, karena aku juga mengalami hal yang sangat mirip dengan itu…”
“Tunggu, maksud kamu? Kamu suka sama saudara tiri kamu sendiri?”
Aku hanya mengangguk, aku tertunduk dihadapannya. Diam membisu, aku malu atas pengakuanku padanya. Aku adalah seorang yang buruk dan bodoh.
“Apa dia juga merasakan seperti yang kamu rasakan sama dia?”
“Aku gak tahu, tapi aku rasa iya. Satu kesalahan yang sangat menyakiti aku sekarang…”
“Apa?”
“Minggu depan dia akan bertunangan dengan perempuan lain, sementara dia masih terus bersikap manis sama aku. Setiap kali aku berusaha menghindar, dia terus muncul di hadapan aku. Awalnya aku memang tak harapkan dia, tapi kenapa sejak aku tahu dia adalah abangku justru aku makin gila dibuatnya.” Aku kembali meneteskan air mataku setelah lama aku tidak lagi membuangnya untuk Aim.
Ia menghela nafas panjang. “Aku gak bisa lakukan apapun untuk bantu kamu. Aku gak tau kalau aku juga berada di posisi yang sama seperti kamu. Tolong jangan nangis, aku paling gak tega lihat perempuan nangis…” Pintanya dengan tatapan penuh iba.
Aku mengusap mataku, aku kembali menyendok sesuap bakso untukku. Aku tersenyum padanya, aku juga gak mau bikin dia merasa iba sama aku. Well kami alihkan tema perbincangan kearah yang lain. Hingga akhirnya dua mangkuk bakso tandas juga.
Aku antar Farish pulang karena kebetulan aku yang bawa mobil dan dia hanya jalan kaki. Sekarang aku tahu, ternyata Farish masih anaknya kerabat Ayah. Wah sungguh dunia sangat sempit ya! Tapi itu gak penting, yang penting aku punya teman baik sebaik Farish padaku.
“Sebelum aku turun, boleh aku bilang sesuatu sama kamu?” Pintanya.
“Silahkan…”
“Cinta itu hanya sekali seumur hidup, hati –hati sekedar peringatan saja. Semoga kamu menemukan pengganti lain yang jauh lebih baik dari dia yang cintai kamu sepenuh hati…” Katanya dengan senyuman.
“Terimakasih…” Aku membalasnya dengan senyuman.
Kenapa Farish begitu perduli sama aku ya? Sampai saja dia memberi peringatan yang memang harus aku. Ah! Whatever makasih Farish for your whises to me.
*****
Hari ini aku harus mengurus keuangan semesterku. Pergi ke bank, parkir udah. Sungguh kebetulan sekali aku bertemu dengan Farish yang baru saja keluar dari pintu utama bank.
“Farish?” Aku menyapanya yang tertunduk serius dengan buku tabungan yang aku rasa pasti miliknya.
“Ah, Ami…” Sahutnya tersenyum padaku.
Aku terkejut melihat wajah Farish yang tertempel plaster dan beberapa noda biru. “Kamu kenapa?”
“Aku gak papa…”
“Biru?”
“Ah…” Farish malah tersenyum.
“Abis berantem sama siapa sampai segitu banyak memarnya?”
“Gak penting lah…”
“Gak penting gimana kamu ini. Wajah kamu itu bengep, pasti itu sakit kan . Siapa sih yang tega berbuat seperti ini sama kamu? Yaa memang aku gak tahu urusan kamu sama orang itu…”
“Udah biasa ajalah, aku gak papa koq, jangan berlebihan begitu.”
“Farish, kamu itu memang terlalu baik ya. Ini bukan masalah berlebihan atau enggak, masalahnya ini muka kamu sekarang kelihatan jellek banget tahuu…” Kesalku seraya bergurau.
Farish malah tertawa.
“Ketawa aja terus…”
“Maaf, tapi kamu gak usah seperti itu lah. Aku ini kan bukan apa –apamu, lagian ini juga salah aku koq…”
“Hem! Iya sih…”
“Ya udah, aku pamit duluan ya…”
Aku tersenyum. “Iya, hati –hati…” Pesanku.
Ha! Farish, dia pergi duluan. Aku heran padanya, seperti yang sedang punya masalah sama preman saja dia. Atau jangan –jangan preman yang waktu itu? Haha! Sudahlah…
Krang! Kring! Krung! Hapeku berbunyi. Wah ada Mami yang telpon.
“Assalamualaikum Ami…” Katanya dari jauh.
“Waalaikum salam Ma. Ada apa?”
“Mama mau minta tolong kamu temani Ibrahim cari sepatu ya, kebetulan Mama sekarang gak bisa carikan. Mau minta tolong sama kakak kamu sedang antarkan anaknya sekolah katanya…” Pintanya.
Ah! Tubuhku seketika melemah rasanya. Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin menolak permintaan Mami, yang ada Ayah marah sama aku.
“Ami, kamu bisa kan ? Bantu Mama ya…”
“Iya Ma, Ami bisa. Sebentar lagi Ami kesana…”
“Gak usah, biar Ibrahim saja yang menjemput kamu katanya…”
Ah harus apa aku sekarang? Setiap kali ingin menghindar selalu ada saja hal yang bikin kita ketemu lagi. Itu bikin hatiku tersiksa, kenapa haru temani dia beli sepatu itu pasti untuk seserahan sama si centil Inez itu! Tanpa jawab apapun aku langsung matikan telpon. Batal ke bank segera aku pulang. Kenapa aku gak bisa bilang tidak?!
Belum berbelok masuk kehalaman rumah mobil civicnya sudah stay di depan. Aim, kamu itu bikin aku gila! Aku gak mau kita terus seperti ini. Tapi apa dayaku, hati kecilku juga masih inginkan kamu. Aku sayangi kamu. Kalau saja kamu bukan abangku, aku akan hentikan rencana pertunangan kamu dari awal. Aku tak sanggub menatapnya lagi. Aku sungguh tak mau bertemu lama –lama dengan dia, karena itu hanya akan meperdalam lukaku.
Tangannya menyentuh tanganku. “Jangan diam begitu…” Katanya memulai pembicaraan dalam mobil.
Aku tentu lakas menarik tanganku. “Gak ada yang harus kita bicarakan, so aku diam!” Aku masih saja ketus padanya.
“Ami, jangan…” Katanya terhenti saat hapenya berdering telpon. Dia anngkat telpon, sepertinya aku yakin dari Inez. Suaranya dikecilkan, entah apa maunya. Aku gak perduli lagi. Tak terlalu lama berdialog dengan telponya. Ia kembali denganku. “Barusan Inez yang telpon…” Katanya padaku.
“Lalu? Apa urusanku?”
“Cemburu?”
“Jangan gila! Aku ini adikmu sendiri sekarang. Mau cemburu atau tidak itu tidak ada artinya lagi sekarang!”
“Sampai kapan kamu mau terus anggab aku ini abang kamu Ami?! Aku sayang sama kamu! Aku bosan kamu selalu bersikap begini sama aku.”
“Selamanya!” Tegasku.
“Ami!” Bentaknya balik padaku.
Aku tekuk bibir bawahku, rasanya aku tak kuat menahan air yang hendak keluar dari mata akibat bentakannya. “Kamu tahu, aku sudah temukan hukum yang pasti untuk hubungan kita yang seharusnya memang gak pernah ada.”
“Sekarang aku gak mau bicarakan tentang hukum apapun. Tolong mengerti aku. Okay sekarang kita memang gak akan bisa sama –sama selamanya, tapi aku hanya minta satu hal sama kamu. Jangan bikin aku gila dengan semua sikap kamu sama aku yang selalu menghindar dengan sikap yang kasar. Aku akan bertunangan dengan Inez, dan itu hanya tinggal hitungan hari. Mengerti aku, aku gak siap dengan semuanya…” Ujarnya dengan rupa yang mulai menjatuhkan air mata.
Aim, sungguh maafkan aku. Harusnya aku memang mengerti kamu dari awal. Seharusnya aku bisa membuatmu tenang walau gak ada aku lagi disisi kamu.
“Gak ada seorangpun yang bisa mengerti perasaanku sekarang. Sekalipun Inez yang setiap katanya selalu bilang ‘Aku mengerti kamu’ Bulshit! Aku gak suka sama dia! Kalau saja bukan karena Mama yang minta aku dengan tangisnya, aku gak akan mau menerima semuanya…” Lanjut Aim yang semakin kesal dengan pikirannya sendiri.
Ternyata aku sudah tak perhatikan dia. Hanya membingungkan pikiranku sendiri. Aim izinkan aku temani kamu sehari saja…
Kalian tahu? Kami berdua gak pergi untuk beli sepatu buat Cinderella. Justru kami berdua habiskan waktu bersama di tempat yang dulu sering kami kunjungi. Ya ALLAH ampuni aku yang masih di mabuk cinta dengannya…
Pantai biru jadi tujuan akhir kami yang sudah setengah hari berada di luar rumah. Ini pertama kalinya aku berjalan berdua di pasir pantai dengan seorang Ibrahim Imran yang aku sayangi.
Aku menghentikan langkahku dan merapikan rambutku yang terus terhembus angin. “Aku merasa lebih baik sekarang…”
“Baguslah…”
“Abang sendiri gimana?”
“Well sangat lebih baik sekarang…” Jawabnya dengan senyuman yang terlihat memang sangat lebih baik.
Aku pandangi semua yang ada dihadapanku, hingga mataku terhenti di seorang lelaki yang duduk sendiri di bawah pohon. Menggenggam pasir dan membuangnya lagi. Aku rasa itu terlihat seperti Farish. “Tunggu sebentar…”
“Mau kemana?”
“Sebentar saja…”
Aku berjalan mendekat pada lelaki yang aku kira itu Farish. Dan ternyata benar. “Farish…” Sapaku.
“Ami?!” Nampaknya ia sangat terkejut dengan kehadiranku. Berdiri dan mengebaskan bajunya yang kotor dengan pasir.
“Ngapain disini sendiri?”
“Aku memang sering disini sendiri koq. Kamu sendiri?”
Aku berbalik melambaykan tangan pada Aim yang masih stay dibelakang. “Aku sama dia…” Kataku dengan bangga.
“Owh…”
Aim datang. “Apa?”
“Kenalin, dia Farish teman baikku…”
Aim menjulurkan tangannya. “Ibrahim…” Katanya dengan wajah yang tak bersahabat.
“Farish…” Katanya.
Jabatan tangan lekas dilepas mereka. Entah kenapa aku merasa aneh, melihat dua rupa yang tidak akur rasanya. Seperti bisu, mereka tidak saling berbasa –basi satu sama lain.
“Kenapa?” Tanyaku pada Aim yang masih diam.
“Gak papa…”
“Well Ami, aku harus pergi dulu ada yang…”
“Kemana?” Aku memotong katanya.
“Kalau dia mau pergi ya biar pergi saja lah Mi…”
Farish pergi tanpa kata lagi pada kami. Entah ada apa dengan keduanya. Gak mungkin Aim bersikap kaku seperti itu pada seorang yang baru ia kenal. Cemburu? Gak mungkin, sangat gak mungkin.
“Abang gak kenal kan sama dia?” Tanyaku yang mulai mencuriga.
“Maksud pertanyaan kamu itu apa?”
“Ya aku hanya tanya saja bang…”
“Kalau aku kenal dia ngapain juga aku kenalan lagi ha?”
Memang, tapi entahlah aku masih merasa aneh dengan keduanya.
*****



Tidak ada komentar:
Posting Komentar