Selasa, 28 Desember 2010

Dia Bukan Untukku 1



“Chieh chieh, yang baru jadian nih…” Goda Dessy yang tiba –tiba muncul dan menepuk pundakku yang sedang menikmati semangkuk bakso di ujung jalan bersama pangeranku Aim. Namanya Ibrahim Imran, hanya saja biar lebih dsingkat aku panggil Aim.

“Wey! Kemana aja kau?! Lama gak muncul…” Sahutku bersalaman dan cipika cipiki lah.

“Iya kemana aja?” Tanya Aim Juga.

Dessy duduk disampingku. “Aku baru balik dari Jakarta.”

“Koq gak kasih tahu? Kapan berangkatnya?”

“Oma aku meninggal, so mendadakan lah pastinya berangkat tiga hari yang lalu.”

“Innalillahi wainna ilaihi roji’un.” Sahutku dan Aim bersama.

“Turut duka cita ya…” Tambahnya.

“Makasih…”

‘Its my life, by bon jovi’ tuh musik tiba –tiba muncul makin keras. Eh ternyata hapenya Aim yang bunyi.

“Bentar ya ada Teflon…”

“Teflon?! Telfon kale…!!!” Seruku dan Dessy serempak dengan tawa.

Diangkat telfon itu dan pergi menceri ketenangan suara.

“Aduh telponnya dari siapa ya???” Dessy masih terus menggodaku.

Aku tersenyum. “Ken Dedes, Ken Dedes! Koq kamu yang repot tuh telpon dari siapa? Biarin aja terserah siapa yang mau telpon lah…”

“Eh bukannya curiga malah senyum –senyum kamu…”

“Mau gimana lagi? Biarin aja lah…”

“Yeh! Koq gitu sih? Katanya suka, sayang, tapi koq gak ada cemburunya sih?”

“Sayang sih sayang Des, ye tapi jangan buta dong sayangnya. Lagi pula masih banyak yang lebih kerren dan bagus dari dia koq. Ya kalau memang dia selingkuh…”

“Masya’ALLAH… Aku baru nemuin nih yang begini nih…”

“Hahay! Aku gak buta ken, kalau memang dia jelek ya jellek aja. Bahkan kalau temen –temen dia ngatain dia ‘jelangkung’ akuy gak marah koq…”

“Jelangkung?!”

“He’em…” Aku menggangguk.

Aim kembali. “Sorry lama…”

“Gak masalah sih kalau aku, gak tau kalau dia ya…” Dessy menyikutku.

Aku dan dia hanya tersenyum malu.

“Koq bisa ya?” Heran Dessy.

“Apanya?”

“Kalian berdua jadi…”

Senyumku semakin lebar saja. Aku jadi teringat saat SMp dulu, saat –saat aku baru belajar yang namanya ‘Monkey Love’ alias ‘Cinta Monyet’. Aku juga masih ingat betul saat dia sering menggodaku, hingga sekarang dia yang beruntung jadi cimonku. Hingga tiga tahun penantian, akirnya aku bisa dapatkan dia juga sekarang hehe… Jadi malu aku…

Aku tengok jam tanganku. Sudah tepat pukul lima. “Aku pulang ya?” pamitku dengan nada lembut padanya.

“E’hm! E’hm...!” Dessy terbatuk batuk. “Aduh, kalau sama dia lembutnya…”

“Ah iya deh, aku pulang dulu ya Ken Dedes…” Aku mengelus –ngelus punggungnya.

“Hahay! Im! Kog gak diantar pulang sih?”

“Backstreet buk,” Sahutku kilat. “Udah aku pulang duluan ya…” Pamitku kembali pada mereka berdua.

Hem! Backstreet bukanlah pilihan buat hubunganku sama dia, tapi itu adalah permohonan darinya. Aku gak tahu kenapa dia minta untuk menyembunyikan hubungan ini dari semuanya. Hanya aku, Dessy dan dia sendiri yang tahu, satu lagi, tuhan pasti tahu hubungan kita ini. Awalnya aku ingin hubungan serius dengannya, tapi dia selalu menghindar dengan jurus seribu satu alasannya hingga aku bosan untuk membahas lagi.

Aku genggam gagang kulkas dan menarik untuk membuka. Ku comot sepiring coklat cake dengan lapisan coklat leleh yang lezaat sekali. Hemm! Aku suka ini.

“Adin mau pesta kecil, nanti abis isya’ Ayah mau antar kita…” Kabar kakakku Emma sambil kesana kemari dengan piring suapan anaknya.

“Harus ya?” Sahutku.

Mama mencetokkan sendok ke dahiku. “Yang benar saja kamu, itu adik kamu ya harus lah…”

Aku menggosok dahiku. “Ah Mama, Ami kan Cuma bercanda…” Aku rampas sendok di tangan Mama.

“Kamu bercanda terus kapan seriusnya?”

Aku berjalan meninggalkan Mama menuju kamar. “Kalau bercanda sudah dilarang, pasti Ami akan serius Mami…”

“Ah Ami! Kamu diajakin ngomong bener malah aneh –aneh jawabnya!” Sambung kakakku yang lainnya lagi, Sita namanya.

Aku tak perdulikan omongan Kak Sita. Aku berjalan terus sambil menikmati lezatnya cake coklat buatan aku, Mama dan ketiga kakakku. Haha! Lezat! dan masuk kamar.

“Adin ulang tahun mau ikut kak?” Tanyaku pada Kak Hani yang bersantai dengan I pad Apple-nya di atas tempat tidur.

“Ya iyalah. Adik sendiri, apa kata Ayah nanti?” Jawabnya tak mengalihkan pandangannya sedikitpun.

Iya sih ayah pasti marah kalau anak –anaknya gak akur, apalagi sampai bikin masalah sama Ibu tiri juga. Hem… Adin, dia anak Ayah dengan ibu tiriku. Umurnya sekarang sepuluh tahun. Ah! Aku malas mau pergi malam ini, tapi aku gak punya alasan buat menghindar melarikan diri.

Tujuh nol nol, jam dinding sudah tepat. By mobil jazz hitam milik ayah aku dan yang lain sampai di rumah besar yang ditinggali sang ibu tiriku ini.

Kami semua sudah bekumpul di ruang makan. Dan Atun! Hehe, namanya Fajrin, hanya kesal dengan tingkahnya dulu jadi aku panggil dia Atun.

“Ada?” Tanya Mami tiriku pada si Atun, eh! Fajrin maksudnya.

“Sebentar lagi katanya Ma, masih sibuk katanya…” Jawab si lelaki yang gak terlalu ganteng itu.

“Aduh, aneh –aneh saja si Bram itu!” Kesal Mami.

Aku mendekat pada kak Hani yang duduk tepat disampingku. “Bram? Siapa?” Bisikku pelan.

“Masa gak tahu? Namanya Ibrahim anak keduanya Mama…”

“Ibrahim?”

Kak Hani hanya menggangguk dan kembali bicara dengan Mami dan yang lainnya.

Ibrahim? Sungguh persis dengan nama Aim, apa mungkin yang dimaksud benar Aim? Mukanya Atun rada mirip sama Aim. Ah! Mungkin hanya pikirku saja.

TOILET! Ah aku kebelet nih. Aku segera permisi mau ke kamar mandi bentar.

“Yang deket dapur sedang gak ada airnya, kamu kedalam saja. Di kamar anak –anak saja…” Kata Mami padaku.

“Ah iya Ma…” Sahutku, terburu –buru. Ah masa mau bucil alias buang air kecil aja harus naik tangga panjang sih?! Keburu bocor nih! Aneh –aneh aja…

Gerak langkahku terhenti seketika, tanganku perlahan melayang menunjuk pada seorang lelaki yang tak lain adalah Aim, Ibrahim Imran punya ku. “Aim?” Panggilku kaget.

“Iya Ami…” Itu benar pangeran aku yang menyahut.

Aku sungguh terbelak melihatnya. Selama bertahun –tahun aku bolak –balik kemari aku belum pernah melihat dia disini. Ternyata dia adalah saudara tiriku?! Ya ALLAH! Kenapa jadi seperti ini?

“Gak ngumpul? Dari tadi udah ditungguin, Mama sama atun. Eh! Fajrin maksudnya…” Omongku menghindari gugup karena shock berat.

“Iya sebentar lagi aku kesana…” Katanya dengan rupa berat. “Kamu mau kemana?”

“Aku mau ke kamar mandi dulu…” Jawabku langsung melarikan diri.

Aim?! Apa dia sudah tahu kalau aku ini memang anak dari Ayah tirinya sekarang? Apa mungkin alasan untuk backstreet juga ini? Ya ALLAH, aku tak mungkin terus berhubungan dengan dia. Itu sama saja aku pacaran denegan abangku sendiri, Aim, saudara tiriku. Argh! Sial! Dunia ini terlalu sempit buatku. Tidak  adakah pilihan lelaki lain yang jauh lebih berharga di hati ku, yang halal untuk aku cintai?!

 Air mata ini jatuh juga. Bantal, guling, kasur tidur, semua aku rasa keras!

“Belum tidur Mi?” Tanya Kak Hani di setengah sadarnya.

“Belum kak…”

“Ayo tidur, besok mau sekolah…” Lanjutnya kemudian tak berisik lagi.

Apa yang harus aku lakukan?

Bip, bip, bip! Hapeku berbunyi, ada sMs dari Aim.

“Met bobo, jangan lupa baca do’a. besok aku tunggu di tempat biasa ya??” Katanya dalam sMs itu.

Balas? Gak? Balas? Gak? Agrh! Pusing, tidur aja lah…

*****

Kringggg!!!

Aku tarik bantal, ku sumbatkan ke telingaku yang tak tahan lagi dengan suara bising yang terus berdering tanpa henti ini.

“Ami! Ayo bangun Mi! udah jam enam seperempat Dek!” Kak Hani menarik selimutku.

Aku tarik kembali selimutku. “Aduh dingin kakak…”

“Heh?! Kamu mau sekolah apa enggak sih?! Ayo bangun.”

“Lima menit lagi aku bangun lagi kak…” Aku mengeratkan selimutku.

“Sudah lima menit lewat! Ayo bangun!!!” Kak Hani mengelitikin aku.

Aku kalah! Aku benci di kelitikin. Berjalan dengan mata terpejam menuju kamar mandi. Ah Howay! Ngantuk! Perlahan aku buka mataku. Lho?! Koq buminya kebalik? Gelap! Dan aku pingsan.

“Biar nanti Ayah yang antarkan surat izin sakitnya Ami…” Perlahan aku buka mata melihat Mama sedang duduk di meja belajarku dengan pulpen yang menari ditangannya.

“Ma pusing…” Keluhku.

“Iya kamu tidur saja, jangan sekolah dulu…”

“Iya Ma…”

Hem! Aku akan berbaring sepanjang hari diatas tempat tidur ini. Kenapa aku? Semalam aku masih sehat –sehat saja, ada yang salah dengan diriku.

Krang! Kring! Kruung! Hehe, hapeku ada telpon ternyata. Astaga! Aim yang telpon.

“Halo?” Aku jawab telponnya.

“Halo. Kamu kenapa?!” Katanya dengan suara yang cukup cemas.

“Waalaikum salam…” Sahutku santai.

“Ah Maaf, Assalamualaikum…”

“Waalaikum salam, memangnya anjingnya berapa ekor?” Godaku.

“Anjing?” Heran Aim di seberang sana.

“Aku kira kamu di kejar anjing, sampai tak kasih salam…”

“Ah Ami, aku khawatir sama kamu. Kata Dessy kamu gak masuk sekolah sekarang. Kamu kenapa?” Tanyanya memelan.

“Aku gak papa, aku cuma pusing biasa. Demam, ya penyakitnya anak kecillah…”

“Udah ke dokter? Yang namanya demam itu harus diwaspadai Ami…”

“Udah, kamu gak usah khawatir gitu, masih ada Mama dan Ayahku yang lebih mencemaskan anaknya…” Aku memotong kegelisahannya. Ya ALLAH, berucap manis, lembut, dan pelan dilarang antara aku dan dia. Seharusnya sudah tak boleh aku lontarkan pada dia, Aim dia itu abang ku! Apa yang harus aku lakukan? Apa aku langsung minta putus saja? Tapi gak enak kalau lewat telpon, dan ini juga terlalu cepat aku rasa. “Udah ya, aku mau tidur dulu. Mau istirahat kepalaku mulai pusing lagi ini…”

 “Iya, kamu banyak istirahat ya. Cepet sembuh ya sayang…” Pesan Aim dengan nada khas rayuannya.

“Makasih…”

Tit! Telpon mati dan aku letakkan kembali di nakasku.

Aku menghela nafas keras. Apa yang harus aku lakukan? Kenapa hatiku sakit saat aku mengetahui ini semua? Kenapa aku mulai merasa berat untuk kehilangan dia? Tak seperti niatku sebulan yang lalu, untuk cari ban serep pengganti dirinya suatu saat nanti. Dan rasanya itu tak akan berlaku sekarang.

“Cepat sembuh ya sayang, aku harap kamu menerti aku tak mungkin datang untuk menjenguk kamu. Dan aku tahu kamu mengerti alasan kenapa aku ingnkan untuk merahasiakan semua ini…” Itulah yang selalu di lontarkan dalam sMs maupun bicara di telpon selama dua hari ini padaku.

“Kamu itu kenapa Mi? Tumben kamu sakit gak ada sebab?” Tanya Kak Hani yang sedang mengerjakan tugas di laptopnya.

Aku menggeleng. “Emang sakit gak ada sebab? Aku gak tau aku kenapa sakit, ya kalau ALLAH mau hambanya sakit ya sakit kakak…”

“Pasti kamu sedang mikir sesuatu kan? Kakak tahu benar jenis sakit kamu  dan penyebabnya.”

“Hallah! Kakak kaya doketer aja, SOTO!”

“Yeh enakan rawon lah! Ye tau lah, aku ini kan kakak mu sejak tujuh belas tahun yang lalu kamu lahir kedunia.”

Aku menghela nafas panjang.

“Kamu itu kenapa sih Dek? Seperti orang tua yang sedang memikirkan masalah rumah tangganya. Ruwet!”

“Emang wajahku ruwet gitu?”

“Sangat!” Sahutnya kesal. “Ami, Ami. Kamu itu setiap ada masalah langsung jatuh sakit, sekarang kamu cerita biar kamu cepat sembuh kembali. Ingat udah dua hari kamu gak sekolah, besok gak mau sekolah lagi?”

Aku memang ada masalah kak, dan maaf aku gak bisa curhatin masalah yang satu ini sama kakak. “Aku cuma capek sama tugas sekolah aku kakak, memangnya aku sakit harus punya masalah ya?”

“Ya gak sih…”

“Ya udah jangan korek aku lagi yo…” Aku berbalik membelakanginya dan memejamkan mataku.

Mataku memang terpejam, tapi pikiranku masih tak terhenti yang terus berjalan tanpa arah. Aim! Aku harus gimana? Aku sudah tak tahu harus berkata apalagi sekarang, kenapa aku mulai menyesali semua yang telah ditakdirkan seperti ini. Ah! Kenapa sih Mami kamu kegenitan minta nikah sama Ayahku dulu?! Jadinya kan kita yang jadi korban!

*****

“Ami!” Dessy memanggilku yang baru melangkah masuk gerbang sekolah.

“Hey! Apa Des?”

“Udah sembuh?”

“Iya…” Aku tersenyum.

“Mi, Aim telpon aku panjang lebar kemarin.”

“Terus?”

“Katanya kamu gak balesin sms dia ya? Kalau di telpon juga jarang di jawab katanya…”

“Owh, terus?”

“Aduh koq terus aja sih?!”

Aku menaik turunkan bahuku.

“Dia minta aku tanyain sama kamu kenapa kamu begitu?”

Aku menghela nafas panjang. Aku berjalan menuju kelas dengannya sambil menceritakan kekecewaan aku semua. Sakitnya mengetahui siapakah Aim sebenarnya. Nampaknya Dessy tak terkejut dengan itu, justru aku lah yang terkejut ternyata Aim sudah menceritakan semua padanya dan meminta untuk membocorkan padaku hingga akhirnya aku telah tahu sendiri.

“Aku minta maaf Ami…” Sesalnya.

Aku melepas tasku dan meletakkannya di bangkuku. “Gak papa Des, kamu itu memang menjaga rahasia. Dan aku hargai itu.”

“Makasih ya. By the way, kalau kamu seperti itu namanya melarikan diri dari masalah dong...”

“Aku gak tahu harus gimana Des, aku takut…”

“Ayolah Ami, apa yang harus kamu takutkan? Jangan jadi pengecut yang lari dari tanggung jawab. Kalau aku yang selesaikan masalahmu ini adalah salah. Aku gak boleh ikut campur kan? Ini masalah kamu dan dia. Kamu harus segera selesaikan semuanya…”

Aku terdiam menundukkan kepalaku yang terasa semakin berat saja.

“Kamu takut kehilangan Aim ya? Rasanya kemarin aku mendengar kamu gak perduli kalau dia pergi, benar bukan?”

Aku tersenyum. “Masih ingat saja kamu.”

“Ami, Ami, jangankan nanti, sekarang saja kamu sudah kehilangan Aim. Takdir menyatakan lain, seorang Ibrahim Imran itu adalah abang tirikamu sekarang. So percuma kamu terus menghindar dari dia. Selesaikan segera dan ya selesai…”

Dessy benar, percuma aku terus bersikap seperti ini. Aku harus segera temui dia dan menyelesaikan semua yang memang perlu diselesaikan. Sekarang yang harus aku lakukan adalah bertemu dengannya. Tapi aku takut Ya ALLAH, beri aku kekuatan untuk berhadapan dengannya terakhir kalinya.

Suara gemuruh langit yang semakin meggelap, membuat jantungku semakin mengerut rasanya. Sudah lebih dari seperempat jam aku menunggu kedatangannya. Ibrahim Imran, seorang lelaki yang ada dihatiku saat ini tak kunjung muncul. Aim?! Kemana kamu? Jangan buat aku menunggu lama.

Bip bip bip!

“Ayo pulang, bentar lagi hujan. Jangan lama –lama…” Itu sms dari Mama.

Mungkin aku memang sebaiknya pulang segera. Lalu Aim? Itu urusan gampang, dia pasti mengerti dari pada Mama dan tiga kakaku yang akan mengoceh sepanjang hari tujuh kali seminggu.

Huh! Hari yang melelahkan di sekolah. Aku gerah! Mandi dulu ah…

“Ami! Hapemu bunyi…” Teriak Kak Hani padaku yang sedang mandi.

“Iya biarkan dah…” Sahutku berbalas teriakan.

Segar! Beberapa menit kemudian aku keluar. Mengehrankan melihat kak Hani dengan hapeku menempel ditelinganya. Biasanya ia tak pernah perdulikan aku dapat telpon maupun sms dari siapapun, tapi kenapa dia. “Kak Han? Koq hapeku dipakai? Siapa yang telpon?” Tanyaku heran melihat kak Hani duduk dengan alis bersatu.

Ia membuang hapeku ke kasur dan berdiri mendekat padaku.

“Kenapa kak?” Aku semakin heran saja.

PlaaAST! Sebuah gamparan aku terima darinya.

“Kak? Kenapa kakak nampar aku?”

“Kamu pacaran sama Ibrahim?! Iya?” Bentaknya mendesaku.

Ya ALLAH, jangan –jangan barusan yang telpon itu Aim. Memangnya apa yang mereka bicarakan? Apa yang harus aku katakan padanya?

“Jawab!” Bentaknya membuyarkan pikiranku.

Aku mengangguk pertanda ya.

“Sungguh keterlaluan kamu! Sudah tahu ayah kerasnya bagaimana, masih saja kamu berani main api! Parahnya lagi sama Ibrahim! Heh, dia itu abang kamu sendiri. Tahu itu!” Bentakan kak Hani mengetarkan hati dan jantungku hingga aku berderai air mata seketika.

“Ami minta maaf kak…”

“Ya pastilah kata itu yang akan kamu lontarkan. Semua udah terlambat kamu bilang maaf sekarang!” Kak Hani kembali terduduk di bibir kasur. “Kamu keterlaluan Mi! Dimana kamu taruh otak kamu untuk mikir ha?! Abang sendiri yang kamu pacari. Apa kata orang yang tahu nanti ha? Kamu gak mikir itu kan?!”

“Ami dak tahu kalau Aim itu anaknya Mama kak…”

“Ya sekarang kamu sudah tahu kan?! Mau lanjut? Mau terus? Mau nerobos semuanya ikuti nafsu pikiran kamu?”

“Kak enggak kak, Ami sadar Ami salah, dan Ami sungguh menyesal. Ami mau menyelesaikan ini semua dan dak akan ulangi seperti ini lagi kak…” Aku berlutut di hadapannya. “Maafkan Ami kakak…”

“Ibrahim Imran itu abang kamu sendiri Ami! Seperti Kak Hani kakak kamu ini…” Tekannya.

“Iya kak…”

“Hukum itu harus kamu patuhi Ami. Jangan kamu sembarangan menerobos takdir yang sudah ada sekarang. Hukum yang bisa menghalalkan semuanya Ami…” lanjutnya dan kemudian pergi keluar kamar.

Aku salah, aku salah, dan aku salah! Aku memang sudah sungguh keterlaluan sudah tahu siapa dia aku tak segera menyelesaikan semuanya. Betapa bodohnya aku! Harusnya dari awal aku sudah curiga kenapa Aim yang gak pernah menjelaskan tetang keluarganya. Bodoh! Harusnya aku curiga! Sekarang sungguh sial nasib percintaan aku, giliran cinta pertama harus pada seorang yang salah.

Aku menarik nafas dan membuangnya dengan pasti, sepasti langkah kakiku menuju rumah Dessy. Aku butuh petunjuk dari dia, sebagai guru cinta dan sebagai penanggung jawab telah mencomblangkan aku dengan Aimku.

“Ami!” Panggil seseorang dari arah belakangku yang sedang berjalan.

Menoleh? Tidak? Itu suara Aim. Aku hentikan langkah ini tanpa menolehinya.

“Ami tunggu…” Katanya lagi sesegera mungkin mematikan motor dan turun dari situ. “Kamu itu kemana Mi? aku pikir kamu sudah sampai, ternyata malah kamu gak datang…” Lanjutnya yang berdiri di hadapanku.

“Kamu telpon aku kan?”

“Iya, tapi yang angkat Hani bukan?”

“Dia sudah bicara apa saja sama kamu?”

“Gak ada, aku hanya tanya kamu sama dia dan dia jawab.”

“Lalu kenapa dia ta…” Aku terhenti. Aku baru ingat kalau nomornya di hapeku aku beri nama ‘Sayangku Aim’ pantas saja kak Hani berani angkat telpon itu. Aduh sungguh bodohnya aku!

“Kenapa?”

“Ah sudah! Langsung aja, aku mau kita putus!” Tegasku kemudian berbalik hendak meninggalkan dia.

“Ami gak!” Sahutnya lekas menarik tanganku menghadapnya lagi. “Gampang kamu bilang putus. Kenapa kamu mita putus ha?” Wajahnya seperti disambar petir. Aku tahu dia sangat terkejut dengan kataku barusan.

“Jangan bodoh Im, tanpa kata putus saja memang seharusnya kita gak ada hubungan apa –apa.”

“Jadi kamu mikir gitu? Sudah aku duga kamu pasti mikir begini. Kita ini gak ada darah yang sama sedikitpun Ami! Jangan perdulikan mereka, biar mereka dengan pikirannya sendiri. Aku tahu, pasti kakak –kakakmu sudah ngomong macam –macam kan?!”

“Yang mereka katakan hanya satu dan itu benar! Ibrahim Imran itu adalah abang tirinya Amita, dan tidak boleh ada hubungan selain persaudaraan diantara keduanya! Mereka benar, hanya aku saja yang bodoh sudah kemakan sama semua alasan dan gombalan kamu!”

“Jangan kamu ngomong gitu sama aku Ami! Aku ini sayang sama kamu…”

“Percuma! Jangan katakan itu lagi sama aku. Aku minta ini yang terakhir kalinya kita ketemu seperti ini. Jangan pernah temui aku lagi…”

“Aku tetap gak perduli sama omongan kamu itu! Aku sayang sama kamu dan aku yakin betul kamu juga sayang sama aku!”

“Aim cukup! Jangan ingkari hukum yang sudah ada. Kamu dan aku harus terima itu!”

“Hukum? Hukum apa yang sudah diingkari? Hukum yang mana melarang hubungan kita ha? Bilang sama aku, aku sendiri yang akan hancurin hukum itu!”

“Aku bilang cukup…” Kataku tak kuat lagi, air mata yang sejak tadi aku bendung akhirnya jebol juga. “Jangan desak aku seperti ini. Aku memang gak tahu hukum. Tapi aku tahu hubungan kita memang dilarang…”

“Dan kamu masih ingin kita akhiri semua?”

Aku hanya menggangguk.

“Okay, kalau kamu kita akhiri ini semua, kamu harus penuhi satu syaratku.”

“Apa lagi?”

“Kamu harus temukan satu hukum yang memang pasti melarang hubungan kita ini. Kalau kamu bisa temukan dalam waktu tiga ratus enam puluh lima hari, okay aku akan terima itu. Tapi kalau kamu gak bisa temukan dengan pasti tanggal dua tujuh juli dua ribu sepuluh tahun depan, aku akan langsung bawa kamu menghadap orang tua kita.” Pintanya dengan penuh keyakinan.

Mampukah aku menerima dan melakukan syarat itu? Bagaimana kalau aku mampu? Dan bagaimana juga bila tidak? Ya ALLAH apa aku harus menerima syarat ini? “Selama tiga ratus enam puluh lima hari, jangan panggil aku dengan sebutan sayang. Jadilah seorang abang tiriku sesungguhnya…”

“Itu gampang, aku akan lakukan syarat kamu juga…” Katanya dengan menjulurkan tangannya. “Deal?”

“Deal…” Aku menyalaminya.

Bagaimana ini apa aku mampu? Dari mana aku harus memulai mencari jawaban ini semua? Sulit bagiku untuk menemukan satu hukum agama yang pasti. Di dunia ini terlalu banyak ulama yang berpendapat dengan pendapatnya masing –masing. Tentu saja itu tidak akan menghilangkan kebingunganku nantinya.

*****

Soreku yang kelabu. Walau sinar matahari yang semakin kebarat masuk kaca rumah tapi gak bisa masuk hati dan pikiranku yang gelap ini. Huh! Aku bosan kalau harus dirundung tugas yang aneh ini.

“Tadinya Ayah berniat jodohkan Hani sama Fajrin…” Kata Ayah dengan secangkir kopinya di meja makan.

Aku menghentikan gerakku seketika. “Memang boleh?” Tanyaku pelan. Aku lanjutkan kembali memasang tomat dan selada diatas roti burger bikinanku.

“Itu dia masalahnya, Ayah juga bingung. Ah kebetulan besok ada pengajian biar besok Ayah tanyakan sama pak Ustad…”

Ide yang bagus Ayah, nanti kalau udah di kasih tahu sama pak Ustad kasih tahu aku juga ya yah…

Satu sumber tinggal tunggu jawaban besok saja. Masih kurang aku harus cari lagi sumber yang lainnya. Aku harus cari minimal tiga pembuktian, agama sudah, tinggal kesehatan dan ilmu kemasyarakatan aja sudah cukup lah.

Kalau kesehatan enaknya aku temuin dr Mira. Dia teman baikku waktu SD dulu, masih ingat gak ya sama aku? Hem masih ingatlah pastinya, kemarin waktu ketemu aja dia sapa aku koq. Well aku temui dia di tempat prakteknya, basa –basi mau wawancara hahaha…

“Ya kalau dari segi kesehatan pastinya gak masalah lah, yang jadi masalah kan karena status si A itu kakak tirinya si B tadi. Mereka itu berasal dari ayah dan ibu yang berbeda kan, jadi gak ada darah yang sama gitu…”

“Ah aku juga piker begitu dok, cuma yaa ini kan harus wawan cara gitu…” Lagak ku seperti yang memang tugas wawancara sungguhan. Hehe!

“Well ya sudah sukses sama tugasnya ya…”

“Okay terimakasih juga bu dokter…”

Sebenarnya tidak hanya satu dokter yang aku temui untuk ditanya pendapatnya. Tapi sudah lima dokter, dan tak seorangpun mengatakan ini dilarang. Lalu bagaimana dengan aku sendiri yang masih belum yakin dengan pendapat itu semua?

Back to pak Uztad. Aku temui Mama di dapur yang sedang menyipakan makan siang untuk kami semua. “Gimana Ma, Ayah tanya sama pak Ustad tentang kak Hani sama Fajrin?” Tanyaku sok perduli dengan keduanya.

“Ustadnya sedang sakit katanya, jadi pengajian kemarin ditunda. Memangnya kenapa?”

“Ya gak papa sih Ma, kan Ami pengen tahu saja apa Kak Hani sama si Atun itu bisa jodoh gitu…”

Mama terhenti. “Atun?” Tanyanya heran.

“Ah maksudnya Fajrin Ma,” Aky tersenyum.

“Owh, tapi Mama fikir –fikir Mama kurang srek kalau harus besanan sama perempuan itu. Apalagi kalau orang mikir tambah macam –macam saja omongannya nanti. Ah seperti tidak ada orang lain saja…”

Ah pupus sudah restuku dari Mama. “Iya juga sih Ma…”

Wajar saja Mama menolak punya besan seorang perempuan yang sudah merebut suaminya belasan tahun silam. Kejam juga aku kalau egois tak perdulikan itu hanya untuk kisah percintaan aku yang tak penting ini. Tapi bagaimanapun juga aku masih harus mencari hukum yang bisa memastikan aku untuk memperkuat alasanku pada Aim nanti.

Musim panas akhirnya mulai beralih menjadi tetesan air yang turun semakin deras. Terkunci oleh derasnya air di luar sana, aku tak bisa kemana –mana sekarang. Aim, gimana kabarmu disana?

“Jendelanya tutup, angin bawa airnya masuk…” Suruh Kak Hani padaku.

Tak perlu menjawab aku segera laksanakan tugas perintahnya menutup jendela.

“Kamu kenapa lagi?” Tanyanya yang tiba 0tiba mengalihkan pandangannya oadaku.

“Apanya kak?”

“Mukamu tak secerah biasanya…”

“Memangnya aku matahari? Aku gak papa koq kak.” Aku seret gordin menutup jendela kaca. “Kakak tahu rencana Ayah mau jodohkan Atun sama kakak?”

“Hah?! Serius kamu?!” Katanya dengan mata nyaris melompat.

“Biasa aja lah kak, jangan kaget seperti itu.”

“Tahu dari mana kamu?”

“Ayah bilang sendiri waktu itu.”

Kak Hani terdiam. Ia tampak tak senang sekali dengan kabar ini.

“Tenang aja kak, kakak gak harap itu Mama juga gak mau punya besan orang itu koq…”

“Benar?”

“Iya. Tadi siang aku tanya Mama, Mama gak mau sekali kalau sampai orang itu jadi besannya, lagi pula katanya seperti yang tidak ada lelaki lain saja…” Aku duduk di pinggir kasur. “Ya walau jodoh itu siapa yang tahu…”

“Heh, koq gitu kamu? Sudah tahu sendiri Fajrin itu seperti apa. Atau kamu yang lebih mengharap Ayah berniat menjodohkan kamu dengan Ibrahim?” Katanya menyinyir.

“Hah!” Aku bernafas keras. “Percuma juga aku pungkiri ya kak?”

“Kamu itu, masih kecil saja pikirannya sudah sejauh itu.” Tangannya mengibas seakan tak habis pikir dengan jalan pikiranku. “Kakak kasih tahu ya, cari pasangan itu gak sembarangan. Sebelum kamu mengalami yang namanya jatuh cinta, kamu itu harus lihat bibit, bebet, bobotnya. Iman, keturunan dan latar belakang keluarganya yang jelas. Kita harus mengetahuhi jelas tentang itu. Bukan seperti kamu yang langsung jatuh cinta pada seorang yang tidak jelas asal usulnya.”

“Cinta tak serumit itu kak…”

“Tahu apa kamu soal cinta ha?!”

Aku menunduk, aku memang tak tahu apapun tentang cinta. Yang aku tahu aku hanya merasa sedih dan kecewa atas semua yang terjadi saat ini.

“Pernah kamu pikir, kamu sedang menyukai seorang pemabuk? Penjudi? Pemain free sex? Atau bahkan pembunuh?”

Aku hanya menggeleng.

“Pikir Ami, cinta itu mahal harganya. Tak mudah kamu katakan ya dan tidak untuk itu. Cinta yang bisa mengangkat derajat orang dan bahkan juga sebaliknya. Seseorang bisa terjerumus karena telah jatuh cinta pada seorang yang salah…”

Aku masih terdiam tanpa kata. Kak Hani benar, dan apakah aku telah jatuh cinta pada seorang yang salah? Apa dia bisa menjerumuskan aku? “Satu hal yang menjadi pedomanku kak. Seorang yang baik hanya akan mendapatkan seorang yang baik pula. Sebaliknya, seorang yang tak baik tentu juga mendapat seorang yang tak baik. Dan selama ini aku merasa diriku telah cukup menjadi seorang yang baik. Siapapun jodohku nanti, aku hanya bisa berharap dia adalah jodoh terbaikku kak…” Tandasku.

*****

1 komentar:

BELAJAR BAHASA mengatakan...

sangat menarik

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

 
;